A.
Pendahuluan
Kesejahteraan sosial
dapat diartikan sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, materi
maupun spiritual yanng diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan
ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk
mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang
sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi
hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai Pancasila
Tercapainya
suatu kesejahteraan sosial merupakan hal yang akan selalu diidam-idamkan oleh
setiap insan karena melalui kesejahteraan sosial maka seiap warga negara akan
dilputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin dan
memungkinkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani, dan
sosial yang sebaik-baiknya bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarga serta
masyarakat.
Proses
pemenuhan kesejahteraan sosial ini akan selalu menjadi tantangan karena masih
banyak terdapat masalah-masalah yang berakitan dengannya dan akan terus tumbuhnya
komponen-komponen masyarakat yang akan terus menjadi sasaran upaya pemenuhan
kesejahteraan sosial ini, yaitu mereka yang dianggap sama sekali tidak
sejahtera secara sosial dan dikenal dengan sebutan Penyandang Masalah
Kesejahteraan Sosial (PMKS). Berbagai penyediaan pelayanan kesejahteraan sosial
oleh berbagai pemangku kepentingan telah meningkat cukup berarti dari waktu ke
waktu. Namun demikian upaya pelayanan tersebut masih jauh dari yang diharapkan
apabila dibandingkan dengan populasi PMKS yang jauh lebih besar jumlah dan
sebarannya, dibandingkan dengan sumber daya yang disediakan dan intervensi yang
telah dilakukan.
Semakin
kompleksnya permasalahan kesejahteraan sosial dan masih banyaknya yang belum
sepenuhnya terselesaikan sejalan dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat.
Untuk itu, maka penanganan masalah kesejahteraan sosial melalui pembangunan
kesejahteraan sosial perlu terus dilanjutkan secara berkesinambungan dan
ditingkatkan agar apa yang telah dicapai dapat terus ditingkatkan dan jangkauan
pelayanan dapat diperluas. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun
2009 Tentang Kesejahteraan sosial yang mengamanatkan agar pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat menyelenggarakan kesejahteraan sosial bagi
warga masyarakat yang kurang beruntung dan rentan, serta melakukan
penanggulangan kemiskinan.
Maka
dari itulah usaha penanganan kesejahteraan sosial menjadi penting untuk
dilakukan untuk mengatasi masalah PMKS tersebut dalam rangka menciptakan suatu
tatanan kehidupan yang aman, tentran, dan damai dimanapun hal tersebut
dilaksanakan. Melihat
hal diatas maka penanganan masalah Kesejahteraan Sosial yang sesuai dengan situasi dan kondisi Kota
Cimhi sangat diperlukan.
B.
Tujuan
Tujuan
diuraikan sebagai berikut.
1.
Meningkatkan pelayanan
dan perlindungan sosial.
2.
Meningkatkan
rehabilitasi kesejahteraan sosial
C.
Metode
Studi ini dilakukan melalui pengumpulan data sekunder.
Adapun untuk data sekunder didapat dengan mengumpulkan dari berbagai sumber
seperti:
1.
Data
yang berhubungan dengan bidang kesejahteraan sosial yang bersumber dari BPS.
2.
Data
operasional bidang kesejahteraan sosial yang berasal dari berbagai sumber.
D.
Tinjauan Konseptual
Blumer (1971) dan Thompson (1988) mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh
suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga
berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat dan kondisi itu diharapkan
dapat diatasi melalui kegiatan bersama. Entitas tersebut dapat merupakan
pembicaraan umum atau menjadi topik ulasan di media massa, seperti televisi,
internet, radio dan surat kabar.
Jadi yang memutuskan bahwa sesuatu itu merupakan masalah sosial atau
bukan, adalah masyarakat yang kemudian disosialisasikan melalui suatu entitas.
Dan tingkat keparahan masalah sosial yang terjadi dapat diukur dengan
membandingkan antara sesuatu yang ideal dengan realitas yang terjadi (Coleman
dan Cresey, 1987).
Contohnya
adalah masalah kemiskinan yang dapat didefinisikan sebagai suatu standar
tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada
sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum
berlaku di masyarakat yang bersangkutan (Suparlan, 1984)
Dan untuk memudahkan mengamati masalah-masalah sosial, Stark (1975)
membagi masalah sosial menjadi 3 macam yaitu:
1. Konflik dan kesenjangan,
seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual
dan masalah lingkungan.
2.
Perilaku menyimpang, seperti :
kecanduan obat terlarang, gangguan mental, kejahatan, kenakalan remaja dan
kekerasan pergaulan.
3. Perkembangan manusia, seperti :
masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan
seksual.
Salah satu penyebab utama timbulnya masalah sosial adalah pemenuhan
akan kebutuhan hidup (Etzioni, 1976). Artinya jika seorang anggota masyarakat gagal
memenuhi kebutuhan hidupnya maka ia akan cenderung melakukan tindak kejahatan
dan kekerasan. Dan jika hal ini berlangsung lebih masif maka akan menyebabkan
dampak yang sangat merusak seperti kerusuhan sosial. Hal ini juga didukung oleh
pendapatnya Merton dan Nisbet (1971) bahwa masalah sosial sebagai sesuatu yang
bukan kebetulan tetapi berakar pada satu atau lebih kebutuhan masyarakat yang
terabaikan.
Sebab lain adalah karena patologi sosial, yang didefinisikan oleh
Blackmar dan Gillin (1923) sebagai kegagalan individu menyesuaikan diri
terhadap kehidupan sosial dan ketidakmampuan struktur dan institusi sosial
melakukan sesuatu bagi perkembangan kepribadian. Hal ini mencakup : cacat
(defect), ketergantungan (dependent) dan kenakalan (delinquent).
Para penganut perspektif patologi sosial pada awalnya juga
beranggapan bahwa masalah sosial dapat dilakukan dengan cara penyembuhan secara
parsial berdasarkan diagnosis atau masalah yang dirasakan. Tetapi akhirnya
disadari bahwa penyembuhan parsial tidak mungkin dilakukan karena masyarakat
merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan permasalahan bersifat
menyeluruh.
Jika ruang lingkup masalah patologi sosial lebih mikro dan
individual, maka dari perspektif “disorganisasi sosial” menganggap penyebab
masalah sosial terjadi akibat adanya perubahan yang cukup besar di dalam
masyarakat seperti migrasi, urbanisasi, industrialisasi dan masalah ekologi
Dengan memperhatikan perbedaan lokasi suatu daerah, Park (1967),
menemukan bahwa angka disorganisasi sosial dan timbulnya masalah sosial yang
tinggi ada pada wilayah yang dikategorikan kumuh akibat arus migrasi yang
tinggi, dan hal ini diperkuat dengan pendapat Faris dan Dunham (1965), bahwa
tingkat masalah sosial lebih tinggi di pusat kota secara intensitas dan frekuensi
dibandingkan daerah pinggiran.
Perlu ditambahkan juga disini, bahwa masalah sosial tidak hanya
karena kesalahan struktur yang ada di dalam masyarakat atau kegagalan sistem
sosial yang berlaku namun juga dari tindakan sosial yang menyimpang atau yang
dikenal sebagai “perilaku menyimpang” yaitu menyimpang dari status sosialnya
(Merton & Nisbet, 1961). Misalkan seseorang yang sudah tua bertingkah laku
seperti anak-anak atau orang miskin bertingkah laku seperti orang kaya dan
lainnya. Dengan demikian, seseorang itu disebut berperilaku menyimpang karena
dia dianggap gagal dalam menjalankan kehidupannya sesuai harapan masyarakat.
Namun demikian, Heraud (1970) membedakan lagi jenis perilaku menyimpang ini,
apakah secara statistik, yaitu berlainan dengan kebanyakan perilaku masyarakat
secara umum ataukah secara medik, yang lebih menekankan kepada faktor “nuture”
atau genetis.
Ketidakmampuan
seseorang dalam melakukan transmisi budaya juga dapat menyebabkan permasalahan
sosial. Cohen dalam bukunya “Delinquent Boys : The Culture of the Gang” (1955)
memaparkan hasil penelitiannya. Ia memperlihatkan bahwa anak-anak kelas pekerja
mungkin mengalami “anomie” di sekolah lapisan menengah sehingga mereka
membentuk budaya yang anti nilai-nilai menengah. Melalui asosiasi diferensial,
mereka meneruskan seperangkat norma yang dibutuhkan melawan norma-norma yang
sah pada saat mempertahankan status dalam ‘gang’nya.
Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang,
keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau
gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat
terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan
wajar. Hambatan, kesulitan dan gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan,
keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan dan
perubahan lingkungan (secara mendadak) yang kurang mendukung, seperti
terjadinya bencana.
Dari hasil kesepakatan bersama,
saat ini terdapat 27 jenis PMKS, sebagai berikut :
1.
Anak Balita Terlantar : anak yang berumur 0-4 tahun yang
karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajiban (karena
miskin/tidak mampu, salah seorang atau kedua-duanya sakit/meninggal), sehingga
terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya, baik secara
jasmani, rohani maupun sosial.
2. Anak Terlantar : anak yang berusia 5-21 tahun yang
karena sebab tertentu (miskin/tidak mampu, salah seorang atau kedua orang
tuanya/wali sakit atau meninggal, keluarga tidak harmonis), sehingga tidak
dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani
maupun sosial.
3.
Anak Yang Menjadi Korban tindak
Kekerasan atau Diperlakukan Salah : anak yang berusia 5-21 tahun yang terancam secara fisik
dan non fisik karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya
dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak
terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun
sosial.
4.
Anak Nakal : anak yang berusia 5-21 tahun yang
berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat,
lingkungannya sehingga merugikan dirinya, keluarganya dan orang lain , akan
mengganggu ketertiban umum, akan tetapi karena usia belum dapat dituntut secara
hukum.
5.
Anak Jalanan : anak yang berusia 5-21 tahun yang
menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran
di jalanan maupun ditempat-tempat umum.
6.
Anak Cacat : anak yang berusia 5-21 tahun yang
mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau perupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara layaknya, yang
terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat
fisik dan mental.
7.
Wanita Rawan Sosial Ekonomi : seseorang wanita dewasa yang
berusia 18-59 tahun, belum menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan
cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
8.
Wanita Yang Menjadi Korban Tindak
Kekerasan atau Diperlakukan Salah : wanita yang berusia 18-59 tahun yang terancam secara
fisik atau non fisik (psikologis) karena tindak kekerasan, diperlakukan salah
atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial
terdekatnya.
9.
Lanjut Usia Terlantar : seseorang yang berusia 60 tahun
atau lebih karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan
dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosialnya.
10. Lanjut Usia Yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan atau
Diperlakukan Salah : lanjut usia (60 tahun keatas) yang mengalami tindak
kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga
atau lingkungan terdekatnya, dan terancam baik secara fisik maupun non fisik.
11. Penyandang Cacat : setiap orang yang mempunyai
kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan sesuatu secara layaknya yang terdiri dari
: penyandang cacat fisik (penyandang cacat mata/tunanetra dan penyandang cacat
rungu/wicara), penyandang cacat mental (penyandang cacat mental eks psikotik
dan penyandang cacat mental retardasi): penyandang cacat fisik dan mental
(Undang-undang no.4 Tahun 1997).
12. Penyandang Cacat Bekas Penderita Penyakit Kronis : seseorang yang pernah menderita
penyakit menahun atau kronis, seperti kusta, TBC Paru, yang dinyatakan secara
medis telah sembuh.
13. Tuna Susila : seseorng yang melakukan hubungan seksual dengan sesama
atau lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian diluar perkawinan yang
sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
14. Pengemis : orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta
di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan
orang lain.
15. Gelandangan : orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan
norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai
pencarian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.
16. Bekas Narapidana : seseorang yang telah selesai atau
dalam tiga bulan segera mangakhiri masa hukuman atau masa pidananya sesuai
dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri
kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapat kesulitan, untuk
mendapatkan pekerjaan atau melaksanakan kehidupan secara normal.
17. Korban Penyalahgunaan Napza : seseorang yang menggunakan
narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras
diluar tujuan pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang.
18. Keluarga Fakir Miskin : seseorang atau kepala keluarga
yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak
mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai
sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok
keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
19. Keluarga Berumah Tak Layak Huni : keluarga yang kondisi perumahan
dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal
baik secara fisik, kesehatan maupun sosial.
20. Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis : keluarga yang hubungan antar
keluarganya terutama hubungan antara suami dan istri kurang serasi, sehingga
tugas dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar.
21. Komunitas Adat Terpencil : kelompok orang/masyarakat yang
hidup dalam kesatuan-kesatuan kecil yang
bersifat local dan terpencil dan masih sangat terikat pada sumber daya alam dan
habitatnya yang secara sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan
masyarakat Indonesia pada umumnya sehingga memerlukan
pemberdataan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luar.
22. Masyarakat Yang Tinggal di Daerah Rawan Bencana : kelompok masyarakat yang lokasi
pemukiman mereka berada di daerah yang relatif sering terjadi bencana atau
kemungkinan besar dapat terjadi bencana alam dan musibah lainnya yang
membahayakan jiwa serta kehidupan dan penghidupan mereka.
23. Korban Bencana Alam : perorangan, keluarga atau
kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial
ekonomi akibat terjadinya bencana alam yang menyebabkan mereka mengalami
hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Termasuk dalam korban
bencana alam adalah korban bencana gempa bumi tektonik, letusan gunung berapi,
tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau tsunami, angin kencang, kekeringan
dan kebakaran hutan atau lahan korban kebakaran pemukiman, kecelakaan kapal
terbang, kereta api, musibah industri (keselakaan kerja) dan kecelakaan perahu.
24. Korban Bencana Sosial : perorangan, keluarga atau
kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial
ekonomi akibat terjadinya bencana sosialo atau keruhusah yang menyebabkan
mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas – tugas kehidupannya.
25. Pekerja Migran Terlantar : seseorang bekerja diluar tempat
asalnya dan menetap sementara ditempat tersebut dan mengalami permasalahan
sosial sehingga menjadi terlantar.
26. Keluarga Rentan : keluarga muda yang baru menikah (sampai dengan 5 tahun
usia pernikahan) yang mengalami masalah sosial dan ekonomi (penghasilan sekitar
10 % di atas garis kemiskinan) sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar
keluarga.
27. Penyandang AIDS/HIV : seseorang yang dengan rekomendasi
professional (dokter) atau petugas laboratorium terbukti tertular virus HIV
sehingga mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS) dan hidup
terlantar.
E.
Pembahasan
Proses penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesungguhnya
telah berlangsung lama dalam masyarakat kita, bukan sebuah fenomena baru. Tugas
Pemerintah adalah mereformulasi dan mereaktualisasi nilai-nilai luhur yang
hidup di tengah masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, namun memiliki
tujuan sama. Nilai-nilai itu membentuk jati diri dan budaya bangsa, antara lain
nilai terpenting adalah: keperintisan, kepahlawanan dan kesetiakawanan sosial.
Ibarat mendirikan sebuah rumah, inilah yang menjadi fondasi dari segenap proses
penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial
tidak boleh dipandang sebagai aktivitas yang bersifat konsumtif belaka, namun
harus ditempatkan sebagai investasi sosial berjangka panjang berkelanjutan yang
akan menentukan eksistensi bangsa Indonesia di tengah perubahan global.
Di atas fondasi itu diletakkan lantai dasar Sumber Daya
Manusia kesejahteraan sosial yang menjadi motor penggerak pembangunan sosial.
Sumber daya itu terdiri dari para pekerja sosial profesional, tenaga
kesejahteraan sosial, relawan sosial, dan penyuluh sosial. SDM kesejahteraan
sosial merupakan bagian dari Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS),
yakni unsur yang paling penting karena seluruh potensi lain tergantung dari
kualitas SDM penggeraknya. Pembinaan dan peningkatan kompetensi SDM
kesejahteraan social, menjadi agenda utama. Potensi lain yang dikembangkan
adalah sarana dan prasarana, ilmu pengetahuan dan teknologi, kelembagaan,
organisasi dan manajemen yang terkait dengan kesejahteraan sosial.
Apabila fondasi (nilai) dan lantai (SDM) itu terbina dengan
baik, maka pilar-pilar kokoh yang menjadi tugas pokok penyelenggara
kesejahteraan sosial yaitu rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan
sosial, dan perlindungan sosial dapat terlaksana dengan baik. Keberhasilan
penyelenggaraan kesejahteraan sosial akan memberi arti bagi penurunan angka
kemiskinan. Masyarakat sering terpaku pada hasil akhir angka kemiskinan padahal
di balik itu berlangsung proses pelayanan sosial yang berkesinambungan, memakan
waktu lama dan anggaran besar.
Karena itu, penyelenggaraan kesejahteraan sosial dilakukan
dalam kerangka kebijakan yang terpadu dengan melibatkan segenap unsur
pemerintah masyarakat, dan kalangan dunia usaha di dalam maupun luar negeri.
Demi mencapai hasil optimal, intervensi kebijakan kesejahteraan sosial
dilakukan berdasarkan segmen penyandang masalah kesejahteraan sosial,
meliputi aspek kemiskinan, kecacatan,
ketunaan sosial, keterlantaran, keterpencilan, korban bencana dan korban tindak
kekerasan, eksploitasi serta diskriminasi. Pada jangka waktu tertentu, bila
segenap proses penyelenggaraan kesejahteraan sosial berlangsung optimal, maka
terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat bukan sekadar
impian.
Kesejahteraan sosial tidak hanya dambaan warga yang tergolong
PMKS, sebab seluruh warga masyarakat merasakan dampak buruk dari kehadiran
PMKS, bila tidak tertangani secara efektif. Kondisi konflik, kerawanan, bahkan
disintegrasi bangsa akan terjadi, jika agenda pelayanan dan pemenuhan kebutuhan
dasar PMKS terabaikan. Untuk itu, pemerintah tidak akan bekerja sendirian.
Berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2009 Kesejahteraan Sosial, masyarakat
yang menginginkan ketenteraman, kenyamanan, dan ketertiban sosial diberikan
kesempatan seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan
kesejahteraan sosial.
Bangunan kesejahteraan sosial dari seluruh upaya
penyelenggaraan kesejahteraan sosial di berbagai bidang dan wilayah kerja.
Dalam bangunan kesejahteraan sosial yang dicita-citakan itu seluruh warga
masyarakat akan bernaung dan berlindung, tidak
hanya PMKS. Pemerintah bertekad membangun rumah kesejahteraan bagi
seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi.
Sesuai dengan
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial kebijakan dan
strategi di bidang Kesejahteraan Sosial lebih diarahkan pada:
(1) Rehabilitasi
sosial, dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang
mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar. Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga,
masyarakat maupun panti sosial.
(2) Jaminan
sosial, adalah jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk asuransi
kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan dan tunjangan
berkelanjutan untuk:
a. menjamin
fakir miskin, anak yatim piatu telantar, lanjut usia telantar, penyandang cacat
fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang
mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya
terpenuhi.
b. menghargai
pejuang, perintis kemerdekaan, dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya.
Asuransi kesejahteraan sosial diselenggarakan untuk melindungi warga negara
yang tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf
kesejahteraan sosialnya. Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud
diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh pemerintah.
(3) Pemberdayaan
sosial dimaksud untuk:
a. memberdayakan
seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah
kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
b. meningkatkan
peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam
penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemberdayaan sosial dilakukan melalui:
peningkatan kemauan dan kemampuan; penggalian potensi dan sumber daya;
penggalian nilai-nilai dasar; pemberian akses; dan/atau pemberian bantuan
usaha.
(4) Perlindungan
sosial, dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan
kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar
kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.
Perlindungan
sosial sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui: bantuan sosial, advokasi
sosial, dan/atau bantuan hukum. Bantuan social dimaksudkan agar seseorang,
keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan
sosial dapat tetap hidup secara wajar.
Advokasi sosial
dimaksudkan untuk melindungi dan membela seseorang, keluarga, kelompok,
dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya. Advokasi sosial sebagaimana dimaksud
diberikan dalam bentuk penyadaran hak dan kewajiban, pembelaan, dan pemenuhan
hak.
Bantuan hukum
diselenggarakan untuk mewakili kepentingan warga negara yang menghadapi masalah
hukum dalam pembelaan atas hak, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
Bantuan hukum sebagaimana dimaksud diberikan dalam bentuk pembelaan dan
konsultasi hukum.
Penanggulangan
kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap
orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau
mempunyai sumber mata pencaharian namun tidak dapat memenuhi kebutuhan yang
layak bagi kemanusiaan, dengan tujuan:
(a) meningkatkan
kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat
miskin;
(b) memperkuat
peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang
menjamin penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;
(c) ewujudkan
kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan social yang memungkinkan
masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan
hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; dan
(d) memberikan
rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan.
Memperhatikan
hal tersebut di atas maka kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial diarahkan
untuk :
(a) Meningkatkan
dan memeratakan pelayanan sosial yang adil, dalam arti bahwa setiap orang
khususnya penyandang masalah kesejahteraan sosial berhak memperoleh pelayanan
sosial.
(b) Meningkatkan
profesionalisme SDM kesejahteraan sosial berbasis pekerjaan sosial dalam
penanganan masalah dan potensi kesejahteraan sosial.
(c) Memantapkan
manajemen penyelenggaraan kesejahteraan social dalam hal perencanaan,
pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan serta koordinasi.
(d) Menciptakan
iklim dan sistem yang mendorong peningkatan dan pengembangan peran serta
masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(e) Mendukung
terlaksananya kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan umum
dan pembangunan berdasarkan keberagaman dan keunikan nilai sosial budaya serta
mengedepankan potensi dan sumber sosial keluarga dan masyarakat setempat.
Strategi pembangunan kesejahteraan
sosial difokuskan pada:
(a) Kampanye
sosial, yang mengandung makna memberikan pemahaman, sosialisasi, penyadaran,
dan kepedulian terhadap pelaku pembangunan kesejahteraan sosial dan penyandang
masalah dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(b) Kemitraan
sosial, yang mengandung makna adanya kerja sama, kepedulian, kesetaraan,
kebersamaan, dan jaringan kerja yang menumbuhkembangkan kemanfaatan timbal
balik antara pihak-pihak yang bermitra.
(c) Partisipasi
sosial, yang mengandung makna adanya prakarsa dan peranan dari penerima
pelayanan dan lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan serta melakukan
pilihan terbaik untuk peningkatan kesejahteraan sosialnya.
(d) Advokasi dan
pendampingan sosial, yang mengandung makna adanya upaya-upaya memberikan perlindungan,
pembelaan, dan asistensi terhadap hak-hak dasar warga masyarakat.