Friday, 26 February 2016

Penanganan PMKS (Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial)


A.      Pendahuluan
Kesejahteraan sosial dapat diartikan sebagai suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, materi maupun spiritual yanng diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi serta kewajiban manusia sesuai Pancasila
Tercapainya suatu kesejahteraan sosial merupakan hal yang akan selalu diidam-idamkan oleh setiap insan karena melalui kesejahteraan sosial maka seiap warga negara akan dilputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir batin dan memungkinkan dirinya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi dirinya sendiri maupun bagi keluarga serta masyarakat.
Proses pemenuhan kesejahteraan sosial ini akan selalu menjadi tantangan karena masih banyak terdapat masalah-masalah yang berakitan dengannya dan akan terus tumbuhnya komponen-komponen masyarakat yang akan terus menjadi sasaran upaya pemenuhan kesejahteraan sosial ini, yaitu mereka yang dianggap sama sekali tidak sejahtera secara sosial dan dikenal dengan sebutan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Berbagai penyediaan pelayanan kesejahteraan sosial oleh berbagai pemangku kepentingan telah meningkat cukup berarti dari waktu ke waktu. Namun demikian upaya pelayanan tersebut masih jauh dari yang diharapkan apabila dibandingkan dengan populasi PMKS yang jauh lebih besar jumlah dan sebarannya, dibandingkan dengan sumber daya yang disediakan dan intervensi yang telah dilakukan. 
Semakin kompleksnya permasalahan kesejahteraan sosial dan masih banyaknya yang belum sepenuhnya terselesaikan sejalan dengan dinamika sosial ekonomi masyarakat. Untuk itu, maka penanganan masalah kesejahteraan sosial melalui pembangunan kesejahteraan sosial perlu terus dilanjutkan secara berkesinambungan dan ditingkatkan agar apa yang telah dicapai dapat terus ditingkatkan dan jangkauan pelayanan dapat diperluas. Hal ini sesuai dengan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan sosial yang mengamanatkan agar pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menyelenggarakan kesejahteraan sosial bagi warga masyarakat yang kurang beruntung dan rentan, serta melakukan penanggulangan kemiskinan.
Maka dari itulah usaha penanganan kesejahteraan sosial menjadi penting untuk dilakukan untuk mengatasi masalah PMKS tersebut dalam rangka menciptakan suatu tatanan kehidupan yang aman, tentran, dan damai dimanapun hal tersebut dilaksanakan. Melihat hal diatas maka penanganan masalah Kesejahteraan Sosial  yang sesuai dengan situasi dan kondisi Kota Cimhi sangat diperlukan.

B.       Tujuan
Tujuan diuraikan sebagai berikut.
1.      Meningkatkan pelayanan dan perlindungan sosial.
2.      Meningkatkan rehabilitasi kesejahteraan sosial

C.        Metode 
Studi ini dilakukan melalui pengumpulan data sekunder. Adapun untuk data sekunder didapat dengan mengumpulkan dari berbagai sumber seperti:
1.        Data yang berhubungan dengan bidang kesejahteraan sosial yang bersumber dari BPS.
2.        Data operasional bidang kesejahteraan sosial yang berasal dari  berbagai sumber.

D.         Tinjauan Konseptual
Blumer (1971) dan Thompson (1988) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masalah sosial adalah suatu kondisi yang dirumuskan atau dinyatakan oleh suatu entitas yang berpengaruh yang mengancam nilai-nilai suatu masyarakat sehingga berdampak kepada sebagian besar anggota masyarakat dan kondisi itu diharapkan dapat diatasi melalui kegiatan bersama. Entitas tersebut dapat merupakan pembicaraan umum atau menjadi topik ulasan di media massa, seperti televisi, internet, radio dan surat kabar.
Jadi yang memutuskan bahwa sesuatu itu merupakan masalah sosial atau bukan, adalah masyarakat yang kemudian disosialisasikan melalui suatu entitas. Dan tingkat keparahan masalah sosial yang terjadi dapat diukur dengan membandingkan antara sesuatu yang ideal dengan realitas yang terjadi (Coleman dan Cresey, 1987).
Contohnya adalah masalah kemiskinan yang dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku di masyarakat yang bersangkutan (Suparlan, 1984)
Dan untuk memudahkan mengamati masalah-masalah sosial, Stark (1975) membagi masalah sosial menjadi 3 macam yaitu:
1.     Konflik dan kesenjangan, seperti : kemiskinan, kesenjangan, konflik antar kelompok, pelecehan seksual dan masalah lingkungan.
2.        Perilaku menyimpang, seperti : kecanduan obat terlarang, gangguan mental, kejahatan, kenakalan remaja dan kekerasan pergaulan.
3.      Perkembangan manusia, seperti : masalah keluarga, usia lanjut, kependudukan (seperti urbanisasi) dan kesehatan seksual.
Salah satu penyebab utama timbulnya masalah sosial adalah pemenuhan akan kebutuhan hidup (Etzioni, 1976). Artinya jika seorang anggota masyarakat gagal memenuhi kebutuhan hidupnya maka ia akan cenderung melakukan tindak kejahatan dan kekerasan. Dan jika hal ini berlangsung lebih masif maka akan menyebabkan dampak yang sangat merusak seperti kerusuhan sosial. Hal ini juga didukung oleh pendapatnya Merton dan Nisbet (1971) bahwa masalah sosial sebagai sesuatu yang bukan kebetulan tetapi berakar pada satu atau lebih kebutuhan masyarakat yang terabaikan.
Sebab lain adalah karena patologi sosial, yang didefinisikan oleh Blackmar dan Gillin (1923) sebagai kegagalan individu menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan ketidakmampuan struktur dan institusi sosial melakukan sesuatu bagi perkembangan kepribadian. Hal ini mencakup : cacat (defect), ketergantungan (dependent) dan kenakalan (delinquent).
Para penganut perspektif patologi sosial pada awalnya juga beranggapan bahwa masalah sosial dapat dilakukan dengan cara penyembuhan secara parsial berdasarkan diagnosis atau masalah yang dirasakan. Tetapi akhirnya disadari bahwa penyembuhan parsial tidak mungkin dilakukan karena masyarakat merupakan satu kesatuan yang saling terkait dan permasalahan bersifat menyeluruh.
Jika ruang lingkup masalah patologi sosial lebih mikro dan individual, maka dari perspektif “disorganisasi sosial” menganggap penyebab masalah sosial terjadi akibat adanya perubahan yang cukup besar di dalam masyarakat seperti migrasi, urbanisasi, industrialisasi dan masalah ekologi
Dengan memperhatikan perbedaan lokasi suatu daerah, Park (1967), menemukan bahwa angka disorganisasi sosial dan timbulnya masalah sosial yang tinggi ada pada wilayah yang dikategorikan kumuh akibat arus migrasi yang tinggi, dan hal ini diperkuat dengan pendapat Faris dan Dunham (1965), bahwa tingkat masalah sosial lebih tinggi di pusat kota secara intensitas dan frekuensi dibandingkan daerah pinggiran.
Perlu ditambahkan juga disini, bahwa masalah sosial tidak hanya karena kesalahan struktur yang ada di dalam masyarakat atau kegagalan sistem sosial yang berlaku namun juga dari tindakan sosial yang menyimpang atau yang dikenal sebagai “perilaku menyimpang” yaitu menyimpang dari status sosialnya (Merton & Nisbet, 1961). Misalkan seseorang yang sudah tua bertingkah laku seperti anak-anak atau orang miskin bertingkah laku seperti orang kaya dan lainnya. Dengan demikian, seseorang itu disebut berperilaku menyimpang karena dia dianggap gagal dalam menjalankan kehidupannya sesuai harapan masyarakat. Namun demikian, Heraud (1970) membedakan lagi jenis perilaku menyimpang ini, apakah secara statistik, yaitu berlainan dengan kebanyakan perilaku masyarakat secara umum ataukah secara medik, yang lebih menekankan kepada faktor “nuture” atau genetis.
Ketidakmampuan seseorang dalam melakukan transmisi budaya juga dapat menyebabkan permasalahan sosial. Cohen dalam bukunya “Delinquent Boys : The Culture of the Gang” (1955) memaparkan hasil penelitiannya. Ia memperlihatkan bahwa anak-anak kelas pekerja mungkin mengalami “anomie” di sekolah lapisan menengah sehingga mereka membentuk budaya yang anti nilai-nilai menengah. Melalui asosiasi diferensial, mereka meneruskan seperangkat norma yang dibutuhkan melawan norma-norma yang sah pada saat mempertahankan status dalam ‘gang’nya.
Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) adalah seseorang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial) secara memadai dan wajar. Hambatan, kesulitan dan gangguan tersebut dapat berupa kemiskinan, keterlantaran, kecacatan, ketunaan sosial, keterbelakangan, keterasingan dan perubahan lingkungan (secara mendadak) yang kurang mendukung, seperti terjadinya bencana.
Dari hasil kesepakatan bersama, saat ini terdapat 27 jenis PMKS, sebagai berikut :
1.        Anak Balita Terlantar : anak yang berumur 0-4 tahun yang karena sebab tertentu, orang tuanya tidak dapat melakukan kewajiban (karena miskin/tidak mampu, salah seorang atau kedua-duanya sakit/meninggal), sehingga terganggu kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangannya, baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
2.      Anak Terlantar : anak yang berusia 5-21 tahun yang karena sebab tertentu (miskin/tidak mampu, salah seorang atau kedua orang tuanya/wali sakit atau meninggal, keluarga tidak harmonis), sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
3.        Anak Yang Menjadi Korban tindak Kekerasan atau Diperlakukan Salah : anak yang berusia 5-21 tahun yang terancam secara fisik dan non fisik karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya, sehingga tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar baik secara jasmani, rohani maupun sosial.
4.        Anak Nakal : anak yang berusia 5-21 tahun yang berperilaku menyimpang dari norma dan kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat, lingkungannya sehingga merugikan dirinya, keluarganya dan orang lain , akan mengganggu ketertiban umum, akan tetapi karena usia belum dapat dituntut secara hukum.
5.        Anak Jalanan : anak yang berusia 5-21 tahun yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah dan atau berkeliaran di jalanan maupun ditempat-tempat umum.
6.        Anak Cacat : anak yang berusia 5-21 tahun yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau perupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan aktivitas secara layaknya, yang terdiri dari penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental, penyandang cacat fisik dan mental.
7.        Wanita Rawan Sosial Ekonomi : seseorang wanita dewasa yang berusia 18-59 tahun, belum menikah atau janda yang tidak mempunyai penghasilan cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari.
8.        Wanita Yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan atau Diperlakukan Salah : wanita yang berusia 18-59 tahun yang terancam secara fisik atau non fisik (psikologis) karena tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan sosial terdekatnya.
9.        Lanjut Usia Terlantar : seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih karena faktor-faktor tertentu tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya baik secara jasmani, rohani maupun sosialnya.
10.    Lanjut Usia Yang Menjadi Korban Tindak Kekerasan atau Diperlakukan Salah : lanjut usia (60 tahun keatas) yang mengalami tindak kekerasan, diperlakukan salah atau tidak semestinya dalam lingkungan keluarga atau lingkungan terdekatnya, dan terancam baik secara fisik maupun non fisik.
11.    Penyandang Cacat : setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan sesuatu secara layaknya yang terdiri dari : penyandang cacat fisik (penyandang cacat mata/tunanetra dan penyandang cacat rungu/wicara), penyandang cacat mental (penyandang cacat mental eks psikotik dan penyandang cacat mental retardasi): penyandang cacat fisik dan mental (Undang-undang no.4 Tahun 1997).
12.    Penyandang Cacat Bekas Penderita Penyakit Kronis : seseorang yang pernah menderita penyakit menahun atau kronis, seperti kusta, TBC Paru, yang dinyatakan secara medis telah sembuh.
13.    Tuna Susila : seseorng yang melakukan hubungan seksual dengan sesama atau lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian diluar perkawinan yang sah dengan tujuan mendapatkan imbalan uang, materi atau jasa.
14.    Pengemis : orang-orang yang mendapat penghasilan dengan meminta-minta di tempat umum dengan berbagai cara dan alasan untuk mengharapkan belas kasihan orang lain.
15.    Gelandangan : orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai pencarian dan tempat tinggal yang tetap serta mengembara di tempat umum.
16.    Bekas Narapidana : seseorang yang telah selesai atau dalam tiga bulan segera mangakhiri masa hukuman atau masa pidananya sesuai dengan keputusan pengadilan dan mengalami hambatan untuk menyesuaikan diri kembali dalam kehidupan masyarakat, sehingga mendapat kesulitan, untuk mendapatkan pekerjaan atau melaksanakan kehidupan secara normal.
17.    Korban Penyalahgunaan Napza : seseorang yang menggunakan narkotika, psikotropika dan zat-zat adiktif lainnya termasuk minuman keras diluar tujuan pengobatan atau tanpa sepengetahuan dokter yang berwenang.
18.    Keluarga Fakir Miskin : seseorang atau kepala keluarga yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian dan atau tidak mempunyai kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok atau orang yang mempunyai sumber mata pencaharian akan tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang layak bagi kemanusiaan.
19.    Keluarga Berumah Tak Layak Huni : keluarga yang kondisi perumahan dan lingkungannya tidak memenuhi persyaratan yang layak untuk tempat tinggal baik secara fisik, kesehatan maupun sosial.
20.    Keluarga Bermasalah Sosial Psikologis : keluarga yang hubungan antar keluarganya terutama hubungan antara suami dan istri kurang serasi, sehingga tugas dan fungsi keluarga tidak dapat berjalan dengan wajar.
21.    Komunitas Adat Terpencil : kelompok orang/masyarakat yang hidup dalam kesatuan-kesatuan  kecil yang bersifat local dan terpencil dan masih sangat terikat pada sumber daya alam dan habitatnya yang secara sosial budaya terasing dan terbelakang dibanding dengan masyarakat Indonesia pada umumnya sehingga memerlukan pemberdataan dalam menghadapi perubahan lingkungan dalam arti luar.
22.    Masyarakat Yang Tinggal di Daerah Rawan Bencana : kelompok masyarakat yang lokasi pemukiman mereka berada di daerah yang relatif sering terjadi bencana atau kemungkinan besar dapat terjadi bencana alam dan musibah lainnya yang membahayakan jiwa serta kehidupan dan penghidupan mereka.
23.    Korban Bencana Alam : perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya bencana alam yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas-tugas kehidupannya. Termasuk dalam korban bencana alam adalah korban bencana gempa bumi tektonik, letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir, gelombang pasang atau tsunami, angin kencang, kekeringan dan kebakaran hutan atau lahan korban kebakaran pemukiman, kecelakaan kapal terbang, kereta api, musibah industri (keselakaan kerja) dan kecelakaan perahu.
24.    Korban Bencana Sosial : perorangan, keluarga atau kelompok masyarakat yang menderita baik secara fisik, mental maupun sosial ekonomi akibat terjadinya bencana sosialo atau keruhusah yang menyebabkan mereka mengalami hambatan dalam melaksanakan tugas – tugas kehidupannya.
25.    Pekerja Migran Terlantar : seseorang bekerja diluar tempat asalnya dan menetap sementara ditempat tersebut dan mengalami permasalahan sosial sehingga menjadi terlantar.
26.    Keluarga Rentan : keluarga muda yang baru menikah (sampai dengan 5 tahun usia pernikahan) yang mengalami masalah sosial dan ekonomi (penghasilan sekitar 10 % di atas garis kemiskinan) sehingga kurang mampu memenuhi kebutuhan dasar keluarga.
27.    Penyandang AIDS/HIV : seseorang yang dengan rekomendasi professional (dokter) atau petugas laboratorium terbukti tertular virus HIV sehingga mengalami sindrom penurunan daya tahan tubuh (AIDS) dan hidup terlantar.

E.          Pembahasan
Proses penyelenggaraan kesejahteraan sosial sesungguhnya telah berlangsung lama dalam masyarakat kita, bukan sebuah fenomena baru. Tugas Pemerintah adalah mereformulasi dan mereaktualisasi nilai-nilai luhur yang hidup di tengah masyarakat dengan beragam latar belakang budaya, namun memiliki tujuan sama. Nilai-nilai itu membentuk jati diri dan budaya bangsa, antara lain nilai terpenting adalah: keperintisan, kepahlawanan dan kesetiakawanan sosial. Ibarat mendirikan sebuah rumah, inilah yang menjadi fondasi dari segenap proses penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Penyelenggaraan kesejahteraan sosial tidak boleh dipandang sebagai aktivitas yang bersifat konsumtif belaka, namun harus ditempatkan sebagai investasi sosial berjangka panjang berkelanjutan yang akan menentukan eksistensi bangsa Indonesia di tengah perubahan global.
Di atas fondasi itu diletakkan lantai dasar Sumber Daya Manusia kesejahteraan sosial yang menjadi motor penggerak pembangunan sosial. Sumber daya itu terdiri dari para pekerja sosial profesional, tenaga kesejahteraan sosial, relawan sosial, dan penyuluh sosial. SDM kesejahteraan sosial merupakan bagian dari Potensi dan Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS), yakni unsur yang paling penting karena seluruh potensi lain tergantung dari kualitas SDM penggeraknya. Pembinaan dan peningkatan kompetensi SDM kesejahteraan social, menjadi agenda utama. Potensi lain yang dikembangkan adalah sarana dan prasarana, ilmu pengetahuan dan teknologi, kelembagaan, organisasi dan manajemen yang terkait dengan kesejahteraan sosial.
Apabila fondasi (nilai) dan lantai (SDM) itu terbina dengan baik, maka pilar-pilar kokoh yang menjadi tugas pokok penyelenggara kesejahteraan sosial yaitu rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial dapat terlaksana dengan baik. Keberhasilan penyelenggaraan kesejahteraan sosial akan memberi arti bagi penurunan angka kemiskinan. Masyarakat sering terpaku pada hasil akhir angka kemiskinan padahal di balik itu berlangsung proses pelayanan sosial yang berkesinambungan, memakan waktu lama dan anggaran besar.
Karena itu, penyelenggaraan kesejahteraan sosial dilakukan dalam kerangka kebijakan yang terpadu dengan melibatkan segenap unsur pemerintah masyarakat, dan kalangan dunia usaha di dalam maupun luar negeri. Demi mencapai hasil optimal, intervensi kebijakan kesejahteraan sosial dilakukan berdasarkan segmen penyandang masalah kesejahteraan sosial, meliputi  aspek kemiskinan, kecacatan, ketunaan sosial, keterlantaran, keterpencilan, korban bencana dan korban tindak kekerasan, eksploitasi serta diskriminasi. Pada jangka waktu tertentu, bila segenap proses penyelenggaraan kesejahteraan sosial berlangsung optimal, maka terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat bukan sekadar impian.
Kesejahteraan sosial tidak hanya dambaan warga yang tergolong PMKS, sebab seluruh warga masyarakat merasakan dampak buruk dari kehadiran PMKS, bila tidak tertangani secara efektif. Kondisi konflik, kerawanan, bahkan disintegrasi bangsa akan terjadi, jika agenda pelayanan dan pemenuhan kebutuhan dasar PMKS terabaikan. Untuk itu, pemerintah tidak akan bekerja sendirian. Berdasarkan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2009 Kesejahteraan Sosial, masyarakat yang menginginkan ketenteraman, kenyamanan, dan ketertiban sosial diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
Bangunan kesejahteraan sosial dari seluruh upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial di berbagai bidang dan wilayah kerja. Dalam bangunan kesejahteraan sosial yang dicita-citakan itu seluruh warga masyarakat akan bernaung dan berlindung, tidak  hanya PMKS. Pemerintah bertekad membangun rumah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa diskriminasi.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial kebijakan dan strategi di bidang Kesejahteraan Sosial lebih diarahkan pada:
(1)   Rehabilitasi sosial, dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Rehabilitasi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan secara persuasif, motivatif, koersif, baik dalam keluarga, masyarakat maupun panti sosial.
(2)   Jaminan sosial, adalah jaminan sosial yang diberikan dalam bentuk asuransi kesejahteraan sosial dan bantuan langsung berkelanjutan dan tunjangan berkelanjutan untuk:
a.    menjamin fakir miskin, anak yatim piatu telantar, lanjut usia telantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial-ekonomi agar kebutuhan dasarnya terpenuhi.
b.  menghargai pejuang, perintis kemerdekaan, dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya. Asuransi kesejahteraan sosial diselenggarakan untuk melindungi warga negara yang tidak mampu membayar premi agar mampu memelihara dan mempertahankan taraf kesejahteraan sosialnya. Asuransi kesejahteraan sosial sebagaimana dimaksud diberikan dalam bentuk bantuan iuran oleh pemerintah.
(3)   Pemberdayaan sosial dimaksud untuk:
a.    memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok, dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri.
b.    meningkatkan peran serta lembaga dan/atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pemberdayaan sosial dilakukan melalui: peningkatan kemauan dan kemampuan; penggalian potensi dan sumber daya; penggalian nilai-nilai dasar; pemberian akses; dan/atau pemberian bantuan usaha.
(4)   Perlindungan sosial, dimaksudkan untuk mencegah dan menangani risiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat dipenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal.

Perlindungan sosial sebagaimana dimaksud dilaksanakan melalui: bantuan sosial, advokasi sosial, dan/atau bantuan hukum. Bantuan social dimaksudkan agar seseorang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang mengalami guncangan dan kerentanan sosial dapat tetap hidup secara wajar.
Advokasi sosial dimaksudkan untuk melindungi dan membela seseorang, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang dilanggar haknya. Advokasi sosial sebagaimana dimaksud diberikan dalam bentuk penyadaran hak dan kewajiban, pembelaan, dan pemenuhan hak.
Bantuan hukum diselenggarakan untuk mewakili kepentingan warga negara yang menghadapi masalah hukum dalam pembelaan atas hak, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Bantuan hukum sebagaimana dimaksud diberikan dalam bentuk pembelaan dan konsultasi hukum.
Penanggulangan kemiskinan merupakan kebijakan, program, dan kegiatan yang dilakukan terhadap orang, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang tidak mempunyai atau mempunyai sumber mata pencaharian namun tidak dapat memenuhi kebutuhan yang layak bagi kemanusiaan, dengan tujuan:
(a) meningkatkan kapasitas dan mengembangkan kemampuan dasar serta kemampuan berusaha masyarakat miskin;
(b) memperkuat peran masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan kebijakan publik yang menjamin penghargaan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar;
(c) ewujudkan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan social yang memungkinkan masyarakat miskin dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; dan
(d)   memberikan rasa aman bagi kelompok masyarakat miskin dan rentan.
Memperhatikan hal tersebut di atas maka kebijakan pembangunan kesejahteraan sosial diarahkan untuk :
(a) Meningkatkan dan memeratakan pelayanan sosial yang adil, dalam arti bahwa setiap orang khususnya penyandang masalah kesejahteraan sosial berhak memperoleh pelayanan sosial.
(b) Meningkatkan profesionalisme SDM kesejahteraan sosial berbasis pekerjaan sosial dalam penanganan masalah dan potensi kesejahteraan sosial.
(c) Memantapkan manajemen penyelenggaraan kesejahteraan social dalam hal perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan serta koordinasi.
(d)   Menciptakan iklim dan sistem yang mendorong peningkatan dan pengembangan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(e)    Mendukung terlaksananya kebijakan desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan umum dan pembangunan berdasarkan keberagaman dan keunikan nilai sosial budaya serta mengedepankan potensi dan sumber sosial keluarga dan masyarakat setempat.

Strategi pembangunan kesejahteraan sosial difokuskan pada:
(a)    Kampanye sosial, yang mengandung makna memberikan pemahaman, sosialisasi, penyadaran, dan kepedulian terhadap pelaku pembangunan kesejahteraan sosial dan penyandang masalah dalam upaya penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
(b) Kemitraan sosial, yang mengandung makna adanya kerja sama, kepedulian, kesetaraan, kebersamaan, dan jaringan kerja yang menumbuhkembangkan kemanfaatan timbal balik antara pihak-pihak yang bermitra.
(c)  Partisipasi sosial, yang mengandung makna adanya prakarsa dan peranan dari penerima pelayanan dan lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan serta melakukan pilihan terbaik untuk peningkatan kesejahteraan sosialnya.
(d)   Advokasi dan pendampingan sosial, yang mengandung makna adanya upaya-upaya memberikan perlindungan, pembelaan, dan asistensi terhadap hak-hak dasar warga masyarakat.


No comments:

Post a Comment