BUDAYA ORGANISASI
Budaya
Menurut Edward Burnett Tylor (1832-1917 secara luas mendefinisikan budaya sebagai :”…culture
or civilization, taken in its wide ethnographic ense, is that complex whole
wich includes knowledge,belief, art, morals, law, custom and any other
capabilities and habits acquired by man as a memmmber of society” atau
Budaya juga dapat diartikan sebagai : “Seluruh sistem gagasan dan rasa,
tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat yang
dijadikan miliknya melalui proses belajar(Koentjaraningrat, 2001: 72
) sesuai dengan kekhasan etnik, profesi dan kedaerahan”(Danim,
2003:148).
Menurut Stephen
P. Robbins, Gary Dessler (1992) dalam bukunya yang
berjudul “Organizational Theory” (1990), memasukan budaya organisasi kedalam
teori organisasi. Sementara Budaya perusahaan merupakan aplikasi dari budaya
organisasi dan apabila diterapkan dilingkungan manajemen akan melahirkan budaya
manajemen. Budaya organisasi dengan budaya perusahan sering disalingtukarkan
sehingga terkadang dianggap sama, padahal berbeda dalam penerapannya.
Budaya secara individu itu berkorelasi dengan
kepribadian, sehingga budaya berhubungan dengan pola prilaku seseorang ketika
berhadapan dengan sebuah masalah hidup dan sikap terhadap pekerjaanya. Didalamnya
ada sikap reaktif seorang pendidik terhadap perubahan kebijakan pemerintah
dalam otonomi kampus sebagaimana yang terjadi, dimana dengan adanya
komersialisasi kampus bisakah berpengaruh terhadap perubahan kultur akademis
penididik dalam sehari-harinya.
Dilihat dari unsur
perbedaan budaya juga menyangkut ciri khas yang membedakan antara individu yang
satu dengan individu yang lain ataupun yang membedakaan antara profesi yang
satu dengan profesi yang lain. Seperti perbedaan budaya seorang dokter dengan seorang
dosen, seorang akuntan dengan seorang spesialis, seorang professional dengan
seorang amatiran.
Ciri khas ini bisa
diambil dari hasil internalisasi individu dalam organisasi ataupun juga sebagai
hasil adopsi dari organisasi yang mempengaruhi pencitraan sehingga dianggap
sebagai kultur sendiri yang ternyata pengertiannya masih relatif dan bersifat
abstrak. pengertian budaya yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Soerjono Soekanto
mendefinisikan budaya sebagai : “Sebuah system nilai yang dianut seseorang
pendukung budaya tersebut yang mencakup konsepsi abstrak tentang baik dan
buruk. atau secara institusi nilai yang dianut oleh suatu organisasi yang
diadopsi dari organisasi lain baik melalui reinventing maupun re-organizing”(Ibid,
Soerjono Soekanto, P. 174)
Sebuah nilai budaya
yang merupakan sebuah sistem bisa menjadi sebuah asumsi dasar sebuah organisasi
untuk bergerak didalam meningkatkan sebuah kinerjanya yang salah satunya
terbentuknya budaya yang kuat yang bisa mempengaruhi. McKenna dan Beech
berpendapat bahwa : „Budaya yang kuat mendasari aspek kunci pelaksaan fungsi
organisasi dalam hal efisiensi, inovasi, kualitas serta mendukung reaksi yang
tepat untuk membiasakan mereka terhadap kejadian-kejadian, karena etos yang
berlaku mengakomodasikan ketahanan“( McKenna, etal, Terj. Toto Budi
Santoso , 2002: 19)
Sedang menurut Talizuduhu
Ndraha mengungkapkan bahwa “Budaya kuat juga bisa dimaknakan sebagai
budaya yang dipegang secara intensif, secara luas dianut dan semakin jelas
disosialisasikan dan diwariskan dan berpengaruh terhadap lingkungan dan prilaku
manusia”( Ndraha, 2003:123).
Budaya yang kuat akan
mendukung terciptanya sebuah prestasi yang positif bagi anggotanya dalam hal
ini budaya yang diinternalisasikan pihak pimpinan akan berpengaruh terhadap
sistem prilaku para pegawai baik didalam organisasi maupun
diluar organisasi.
Sekali lagi kalau Budaya hanya
sebuah asumsi penting yang terkadang jarang diungkapkan secara resmi tetapi
sudah teradopsi dari masukan internal anggota organisasi lainnya. Vijay
Sathe mendefinisikan budaya sebagai “The sets of important assumption
(opten unstated) that member of a community share in common” ( Sathe,
1985: 18) Begitu juga budaya sebagai sebuah asumsi dasar
dalam pembentukan karakter individu baik dalam beradaptasi keluar maupun
berintegrasi kedalam organisasi lebih luas diungkapkan oleh Edgar H. Schein
bahwa budaya bisa didefinisikan sebagai :
“A pattern of share basic assumption that the group
learner as it solved its problems of external adaptation anda internal
integration, that has worked well enough to be considered valid and therefore,
to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in
relation to these problems”.
( Schein, 1992:16)
( Schein, 1992:16)
Budaya bisa merupakan nilai, konsep, kebiasaan, perasaan yang
diambil dari asumsi dasar sebuah organiasasi yang kemudian diinternalisasikan
oleh anggotanya.
Organisasi dan budaya
Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi
itu sendiri dan dapat kita lihat beberapa pendapat tentang organisasi yang
salah satunya diungkapkan Stephen P. Robbins yang mendefinisikan organisasi
sebagai “…A consciously coordinated social entity, with a relatively
identifiable boundary that function or relatively continous basis to achieve a
common goal or set of goal”. ( Robbins, 1990: 4) Sedangkan Waren B.
Brown dan Dennis J. Moberg mendefinisikan organisasi sebagai “…. A
relatively permanent social entities characterized by goal oriented behavior,
specialization and structure”(Brown,etal,1980:6) Begitu juga
pendapat dari Chester I. Bernard dari kutipan Etzioni dimana
organisasi diartikan sebagai “Cooperation of two or more persons, a system
of conciously coordinated personell activities or forces”( Etzioni,
1961:14.)
Sehingga organisasi diatas pada dasarnya apabila dilihat dari
bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output)
serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan
kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when
an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap
Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic),
pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek kultur)
yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya. Dari pengertian
Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya
organisasi atau budaya kerja.
Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu
sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya
dengan organisasi lain”(Umar Nimran, 1996: 11)
Sedangkan Griffin dan Ebbert (Ibid, 1996:11) dari kutipan Umar
Nimran Budaya organisasi atau bisa diartikan sebagai “Pengalaman,
sejarah, keyakinan dan norma-norma bersama yang menjadi ciri
perusahaan/organisasi” Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan
Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang
berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit ,
Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti
Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture”
mengartikan budaya organisasi sebagai :
A set of basic assumption and beliefs that are shared by members of
an organization, being developed as they learn to cope with problems of
external adaptation and internal integration.( Pithi
Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)
(Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari
sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah
penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam)
Hal yang sama diungkapkan oleh Edgar H. Schein (1992) dalam
bukunya “Organizational Culture and Leadershif” mangartikan budaya
organisasi lebih luas sebagai :
“ …A patern of shared basic assumptions that the group
learned as it solved its problems of external adaptation and internal
integration, that has worked well enough to be considered valid and, therefore,
to be taught to new members as the correct way to perceive, think and feel in
relation to these problems.( loc.cit, Schein, P.16)
(“… Suatu pola sumsi dasar yang ditemukan, digali dan
dikembangkan oleh sekelompok orang sebagai pengalaman memecahkan permasalahan,
penyesuaian terhadap faktor ekstern maupun integrasi intern yang berjalan
dengan penuh makna, sehingga perlu untuk diajarkan kepada para anggota baru
agar mereka mempunyai persepsi, pemikiran maupun perasaan yang tepat dalam
mengahdapi problema organisasi tersebut).
Menurut Moorhead
dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai :
Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu
seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat
diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut
dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya(McKenna,etal,
op.cit P.63).
Amnuai (1989) membatasi pengertian
budaya organisasi sebagai pola asumsi dasar dan keyakinan yang dianut oleh
anggota sebuah organisasi dari hasil proses belajar adaptasi terhadap
permasalahan ekternal dan integrasi permasalahan internal.
Organisasi memiliki kultur melalui proses belajar, pewarisan, hasil
adaptasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein
(1992) dengan considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya.
selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by example
atau menurut Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or
herself” yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan,
pesona ataupun kharisma.
Dari pengertian diatas bisa disimpulkan bahwa budaya organisasi
diartikan sebagai kristalisasi dari nilai-nilai serta merupakan kepercayaan
maupun harapan bersama para anggota organisasi yang diajarkan dari generasi
yang satu kegenerasi yang lain dimana didalamnya ada perumusan norma yang
disepakati para anggota organisasi, mempunyai asumsi, persepsi atau pandangan
yang sama dalam menghadapi berbagai permasalahan dalam organisasi.
Hal-hal yang mempengaruhi budaya organisasi
Menurut Piti Sithi-Amnuai bahwa : “being developed as they
learn to cope with problems of external adaptation anda internal integration (Pembentukan
budaya organisasi terjadi tatkala anggota organisasi belajar menghadapi
masalah, baik masalah-masalah yang menyangkut perubahan eksternal maupun
masalah internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi).( Opcit
Ndraha, P.76).
Pembentukan budaya akademisi dalam organisasi diawali oleh para
pendiri (founder) institusi melalui tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Seseorang mempunyai gagasan
untuk mendirikan organisasi.
2. Ia menggali dan mengarahkan
sumber-sumber baik orang yang sepaham dan setujuan dengan dia (SDM), biaya dan
teknologi.
3. Mereka meletakan dasar
organisasi berupa susunan organisasi dan tata kerja.
Menurut Vijay Sathe dengan melihat asumsi dasar yang diterapkan
dalam suatu organisasi yang membagi “Sharing Assumption”( loc.cit
Vijay Sathe, p. 18) Sharing berarti berbagi nilai yang sama atau nilai yang
sama dianut oleh sebanyak mungkin warga organisasi. Asumsi nilai yang
berlaku sama ini dianggap sebagai faktor-faktor yang membentuk budaya
organisasi yang dapat dibagi menjadi :
a). Share thing, misalnya
pakaian seragam seperti pakaian Korpri untuk PNS, batik PGRI yang menjadi ciri
khas organisasi tersebut.
b). Share saying, misalnya
ungkapan-ungkapan bersayap, ungkapan slogan, pemeo seprti didunia pendidikan
terdapat istilah Tut wuri handayani, Baldatun thoyibatun wa robbun ghoffur
diperguruan muhammadiyah.
c). Share doing, misalnya
pertemuan, kerja bakti, kegiatan sosial sebagai bentuk aktifitas rutin yang
menjadi ciri khas suatu organisasi seperti istilah mapalus di Sulawesi, nguopin
di Bali.
d). Share feeling, turut bela
sungkawa, aniversary, ucapan selamat, acara wisuda mahasiswa dan lain
sebagainya.
Sedangkan menurut pendapat dari Dr. Bennet Silalahi bahwa budaya organisasi harus diarahkan pada penciptaan nilai (Values) yang pada intinya faktor yang terkandung dalam budaya organisasi.( Silalahi,2004:8) harus mencakup faktor-faktor antara lain : Keyakinan, Nilai, Norma, Gaya, Kredo dan Keyakinan terhadap kemampuan pekerja.
Untuk mewujudkan tertanamnya budaya organisasi tersebut harus
didahului oleh adanya integrasi atau kesatuan pandangan barulah pendekatan
manajerial bisa dilaksanakan
antara lain berupa :
a. Menciptakan bahasa yang sama dan warna
konsep yang muncul.
b.
Menentukan
batas-batas antar kelompok.
c.
Distribusi wewenang dan status.
d.
Mengembangkan syariat, tharekat dan ma’rifat
yang mendukung norma kebersamaan.
e.
Menentukan imbalan dan ganjaran
f.
Menjelaskan perbedaan agama dan ideologi.
Selain share assumption dari Sathe, faktor value dan integrasi dari Bennet ada beberapa faktor pembentuk budaya organisasi lainnya dari hasil penelitian David Drennan selama sepuluh tahun telah ditemukan dua belas faktor pembentuk budaya organisasi /perusahaan/budaya kerja/budaya akdemis ( Republika, 27 Juli 1994:8) yaitu :
1)
Pengaruh dari pimpinan /pihak yayasan yang dominan
2)
Sejarah dan tradisi organisasi yang cukup lama.
3)
Teknologi, produksi dan jasa
4)
Industri dan kompetisinya/ persaingan antar perguruan tinggi.
5) Pelanggan/stakehoulder akademis
6)
Harapan perusahaan/organisasi
7)
Sistem informasi dan kontrol
8)
Peraturan dan lingkungan perusahaan
9)
Prosedur dan kebijakan
10)
Sistem imbalan dan pengukuran
11)
Organisasi dan sumber daya
12)
Tujuan, nilai dan motto.
Budaya dengan profesionalisme
Dalam perkembangan berikutnya dapat kita lihat ada
keterkaitan antara budaya dengan disain organisasi atau hubungan budaya dengan
keberhasilan suatu perguruan tinggi sesuai dengan design culture yang
akan diterapkan. Untuk memahami disain organisasi tersebut, Harrison (
McKenna, etal, 2002: 65) membagi empat tipe budaya organisasi :
1. Budaya kekuasaan (Power culture)
Budaya ini lebih mempokuskan
sejumlah kecil pimpinan menggunakan kekuasaan yang lebih banyak dalam cara
memerintah. Budaya kekuasaan juga dibutuhkan dengan syarat mengikuti esepsi dan
keinginan anggota suatu organisasi. Pegawai
dalam organisasi membutuhkan adanya peraturan dan pemimpin yang tegas dan benar dalam menetapkan
seluruh perintah dan kebijakannya. Kerena hal ini menyangkut kepercayaan dan
sikap mental tegas untuk memajukan institusi organisasi. Kelajiman diinstitusi yang
masih menganut manajemen keluarga, peranan pemilik institusi begitu dominan
dalam pengendalian sebuah kebijakan institusi terkadang melupakan nilai
profesionalisme yang justru hal inilah salah satu penyebab jatuh dan mundurnya
sebuah organisasi.
2. Budaya peran (Role culture)
Budaya ini ada kaitannya
dengan prosedur birokratis, seperti peraturan organisasi dan
peran/jabatan/posisi spesifik yang jelas karena diyakini bahwa hal ini akan
mengastabilkan sistem. Keyakinan dan asumsi dasar tentang kejelasan
status/posisi/peranan yang jelas inilah akan mendorong terbentuknya budaya
positif yang jelas akan membantu mengstabilkan suatu organisasi. Bagi seorang
dosen tetap jauh lebih cepat menerima seluruh kebijakan akademis daripada dosen
terbang yang hanya sewaktu-waktu hadir sesuai dengan jadwal perkuliahan. Hampir semua orang menginginkan suatu
peranan dan status yang jelas dalam organisasi.
Bentuk budaya ini kalau
diterapkan dalam budaya akademis dapat dilihat dari sejauhmana peran dosen
dalam merancang, merencanakan dan memberikan masukan (input) terhadap
pembentukan suatu nilai budaya kerja tanpa adanya birokarasi dari pihak
pimpinan. Jelas masukan dari bawah lebih independen dan dapat diterima karena
sudah menyangkut masalah personal dan bisa didukung oleh berbagai pihak melalui
adanya perjanjian psikologis antara pimpinan dengan dosen yang dibawahnya.
Budaya peran yang diberdayakan secara jelas juga akan membentuk terciptanya
profesionalisme kerja seorang dosen dan rasa memiliki yang kuat terhadap peran
sosialnya di kampus serta aktifitasnya diluar keegiatan akademis dan kegiatan
penelitian.
3. Budaya pendukung (Support culture)
Budaya dimana didalamnya ada
kelompok atau komunitas yang mendukung seseorang yang mengusahakan terjadinya
integrasi dan seperangkat nilai bersama dalam organisasi tersebut. Selain
budaya peran dalam menginternalisasikan suatu budaya perlu adanya budaya
pendukung yang disesuaikan dengan kredo dan keyakinan anggota dibawah. Budaya
pendukung telah ditentukan oleh pihak pimpinan ketika organisasi/institusi
tersebut didirikan oleh pendirinya yang dituangkan dalam visi dan misi
organisasi tersebut. Jelas didalamnya ada keselaran antara struktur, strategi
dan budaya itu sendiri. Dan suatu waktu bisa terjadi adanya perubahan dengan
menanamkan budaya untuk belajar terus menerus (longlife education)
4.
Budaya prestasi (Achievement culture)
Budaya yang didasarkan pada
dorongan individu dalam organisasi dalam suasana yang mendorong eksepsi diri
dan usaha keras untuk adanya independensi dan tekananya ada pada keberhasilan
dan prestasi kerja. Budaya ini sudah berlaku dikalangan akademisi tentang
independensi dalam pengajaran, penelitian dan pengabdian serta dengan
pemberlakuan otonomi kampus yang lebih menekankan terciptanya tenaga akademisi
yang profesional, mandiri dan berprestasi dalam melaksanakan tugasnya.
beberapa pendapat para ahli mengenai indikator yang menentukan
budaya organisasi.
Khun Chin Sophonpanich memasukan budaya pribadi ke dalam Bank
Bangkok 50 tahun yang lalu dengan beberapa indikator antara lain :
a). Ketekunan (dilligency),
b). Ketulusan (sincerity),
c). Kesabaran (patience) dan
d). Kewirausahaan (entrepreneurship).
Sedangkan Amnuai dan Schien membagi budaya
organisasi kedalam beberapa indikator yaitu antara lain
a). Aspek kualitatif (basic)
b). Aspek kuantitatif (shared) dan aspek terbentuknya
c).. Aspek komponen (assumption dan beliefs),
d). Aspek adaptasi eksternal (eksternal adaptation)
e). Aspek Integrasi internal (internal
integration) sebagai proses penyatuan budaya melalui asimilasi dari budaya
organisasi yang masuk dan berpengaruh terhadap karakter anggota.
Lebih jelas lagi diungkapkan oleh Desmond graves (1986:126) mencatat sepuluh item research tool (dimensi kriteria, indikator) budaya organisasi yaitu :
1.
Jaminan diri (Self assurance)
2.
Ketegasan dalam bersikap (Decisiveness)
3.
Kemampuan dalam pengawasan (Supervisory
ability)
4.
Kecerdasan emosi (Intelegence)
5.
Inisatif (Initiative)
6.
Kebutuhan akan pencapaian
prestasi (Need for achievement)
7.
Kebutuhan akan aktualisasi diri
(Need for self actualization)
8.
Kebutuhan akan jabatan/posisi (Need
for power)
9.
Kebutuhan akan penghargaan (Need
for reward)
10.
Kebutuhan akan rasa aman (Need
for security).
No comments:
Post a Comment