Pengertian Kepemimpinan
Stogdill
(1974) menyimpulkan bahwa banyak sekali definisi mengenai
kepemimpinan. Hal ini dikarenakan banyak sekali orang yang telah mencoba
mendefinisikan konsep kepemimpinan tersebut. Namun demikian, semua definisi kepemimpinan yang ada
mempunyai beberapa unsur yang sama.
Sarros
dan Butchatsky (1996), "leadership is defined as
the purposeful behaviour of influencing others to contribute to a commonly
agreed goal for the benefit of individual as well as the organization or common
good". Menurut definisi tersebut, kepemimpinan dapat didefinisikan
sebagai suatu perilaku dengan tujuan tertentu untuk mempengaruhi aktivitas para
anggota kelompok untuk mencapai tujuan bersama yang dirancang untuk memberikan
manfaat individu dan organisasi. Sedangkan menurut Anderson (1988),
"leadership means using power to influence the thoughts and actions of
others in such a way that achieve high performance".
Berdasarkan
definisi-definisi di atas, kepemimpinan memiliki beberapa implikasi. Antara
lain:
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Pertama: kepemimpinan berarti melibatkan orang atau pihak lain, yaitu para karyawan atau bawahan (followers). Para karyawan atau bawahan harus memiliki kemauan untuk menerima arahan dari pemimpin. Walaupun demikian, tanpa adanya karyawan atau bawahan, kepemimpinan tidak akan ada juga.
Kedua:
seorang pemimpin yang efektif adalah seseorang yang dengan kekuasaannya (his or
herpower) mampu menggugah pengikutnya untuk mencapai kinerja yang memuaskan. Menurut French dan Raven (1968), kekuasaan yang dimiliki
oleh para pemimpin dapat bersumber dari:
- Reward power, yang didasarkan atas
persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan dan sumberdaya untuk
memberikan penghargaan kepada bawahan yang mengikuti arahan-arahan
pemimpinnya.
- Coercive power, yang didasarkan
atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai kemampuan memberikan
hukuman bagi bawahan yang tidak mengikuti arahan-arahan pemimpinnya
- Legitimate power, yang didasarkan
atas persepsi bawahan bahwa pemimpin mempunyai hak untuk menggunakan
pengaruh dan otoritas yang dimilikinya.
- Referent power, yang didasarkan
atas identifikasi (pengenalan) bawahan terhadap sosok pemimpin. Para
pemimpin dapat menggunakan pengaruhnya karena karakteristik pribadinya,
reputasinya atau karismanya.
- Expert power, yang didasarkan atas
persepsi bawahan bahwa pemimpin adalah seeorang yang memiliki kompetensi
dan mempunyai keahlian dalam bidangnya.
Para pemimpin
dapat menggunakan bentuk-bentuk kekuasaan atau kekuatan yang berbeda untuk
mempengaruhi perilaku bawahan dalam berbagai situasi.
Ketiga:
kepemimpinan harus memiliki kejujuran terhadap diri sendiri (integrity), sikap
bertanggungjawab yang tulus (compassion), pengetahuan (cognizance), keberanian
bertindak sesuai dengan keyakinan (commitment), kepercayaan pada diri sendiri
dan orang lain (confidence) dan kemampuan untuk meyakinkan orang lain
(communication) dalam membangun organisasi. Walaupun kepemimpinan (leadership)
seringkali disamakan dengan manajemen (management), kedua konsep tersebut
berbeda.
Perbedaan antara pemimpin dan manajer dinyatakan secara jelas oleh Bennis and Nanus (1995). Pemimpin berfokus pada mengerjakan yang benar sedangkan manajer memusatkan perhatian pada mengerjakan secara tepat ("managers are people who do things right and leaders are people who do the right thing, "). Kepemimpinan memastikan tangga yang kita daki bersandar pada tembok secara tepat, sedangkan manajemen mengusahakan agar kita mendaki tangga seefisien mungkin.
Model-Model Kepemimpinan
Banyak studi
mengenai kecakapan kepemimpinan (leadership skills) yang dibahas dari berbagai
perspektif yang telah dilakukan oleh para peneliti. Analisis awal tentang
kepemimpinan, dari tahun 1900-an hingga tahun 1950-an, memfokuskan perhatian
pada perbedaan karakteristik antara pemimpin (leaders) dan pengikut/karyawan
(followers). Karena hasil penelitian pada saat periode tersebut menunjukkan
bahwa tidak terdapat satu pun sifat atau watak (trait) atau kombinasi sifat
atau watak yang dapat menerangkan sepenuhnya tentang kemampuan para pemimpin,
maka perhatian para peneliti bergeser pada masalah pengaruh situasi terhadap
kemampuan dan tingkah laku para pemimpin.
Studi-studi kepemimpinan selanjutnya berfokus pada tingkah laku yang diperagakan oleh para pemimpin yang efektif. Untuk memahami faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tingkah laku para pemimpin yang efektif, para peneliti menggunakan model kontingensi (contingency model). Dengan model kontingensi tersebut para peneliti menguji keterkaitan antara watak pribadi, variabel-variabel situasi dan keefektifan pemimpin.
Studi-studi tentang kepemimpinan pada tahun 1970-an dan 1980-an, sekali lagi memfokuskan perhatiannya kepada karakteristik individual para pemimpin yang mempengaruhi keefektifan mereka dan keberhasilan organisasi yang mereka pimpin. Hasil-hasil penelitian pada periode tahun 1970-an dan 1980-an mengarah kepada kesimpulan bahwa pemimpin dan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting untuk dipelajari (crucial), namun kedua hal tersebut disadari sebagai komponen organisasi yang sangat komplek.
Dalam perkembangannya, model yang relatif baru dalam studi kepemimpinan disebut sebagai model kepemimpinan transformasional. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.
Berikut ini akan
dibahas tentang perkembangan pemikiran ahli-ahli manajemen mengenai
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.
model-model kepemimpinan yang ada dalam literatur.
(a) Model Watak Kepemimpinan (Traits Model of Leadership)
Pada
umumnya studi-studi kepemimpinan pada tahap awal mencoba meneliti tentang watak
individu yang melekat pada diri para pemimpin, seperti misalnya: kecerdasan,
kejujuran, kematangan, ketegasan, kecakapan berbicara, kesupelan dalam bergaul,
status social ekonomi mereka dan
lain-lain (Bass 1960, Stogdill 1974).
Stogdill
(1974) menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor
pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi,
tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi. Namun demikian banyak studi
yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan
pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil
studi yang lain. Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominant
dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun
1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak
atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari
studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak
dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat
signifikasinya sangat rendah (Stogdill 1970).
Bukti-bukti
yang ada menyarankan bahwa "leadership is a relation that exists
between persons in a social situation, and that persons who are leaders in one
situation may not necessarily be leaders in other situation" (Stogdill
1970). Apabila kepemimpinan didasarkan pada faktor situasi, maka pengaruh watak
yang dimiliki oleh para pemimpin mempunyai pengaruh yang tidak signifikan.
Kegagalan studi-studi tentang kepimpinan pada periode awal ini, yang tidak
berhasil meyakinkan adanya hubungan yang jelas antara watak pribadi pemimpin
dan kepemimpinan, membuat para peneliti untuk mencari faktor-faktor lain
(selain faktor watak), seperti misalnya faktor situasi, yang diharapkan dapat
secara jelas menerangkan perbedaan karakteristik antara pemimpin dan pengikut.
(b) Model Kepemimpinan Situasional (Model of Situasional Leadership)
Model
kepemimpinan situasional merupakan pengembangan model watak kepemimpinan
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
dengan fokus utama faktor situasi sebagai variabel penentu kemampuan kepemimpinan. Studi tentang kepemimpinan situasional mencoba mengidentifikasi karakteristik situasi atau keadaan sebagai faktor penentu utama yang membuat seorang pemimpin berhasil melaksanakan tugas-tugas organisasi secara efektif dan efisien. Dan juga model ini membahas aspek kepemimpinan lebih berdasarkan fungsinya, bukan lagi hanya berdasarkan watak kepribadian pemimpin.
Hencley
(1973) menyatakan bahwa faktor situasi lebih menentukan
keberhasilan seorang pemimpin dibandingkan dengan watak pribadinya. Menurut
pendekatan kepemimpinan situasional ini, seseorang bisa dianggap sebagai
pemimpin atau pengikut tergantung pada situasi atau keadaan yang dihadapi.
Banyak studi yang mencoba untuk mengidentifikasi karakteristik situasi khusus
yang bagaimana yang mempengaruhi kinerja para pemimpin.
Hoy
dan Miskel (1987), misalnya, menyatakan bahwa terdapat
empat faktor yang mempengaruhi kinerja pemimpin, yaitu sifat struktural
organisasi (structural properties of the organisation), iklim atau lingkungan
organisasi (organisational climate), karakteristik tugas atau peran (role
characteristics) dan karakteristik bawahan (subordinate characteristics).
Kajian model kepemimpinan situasional lebih menjelaskan fenomena kepemimpinan
dibandingkan dengan model terdahulu. Namun demikian model ini masih dianggap
belum memadai karena model ini tidak dapat memprediksikan kecakapan
kepemimpinan (leadership skills) yang mana yang lebih efektif dalam situasi
tertentu.
(c) Model Pemimpin yang Efektif (Model of Effective Leaders)
Model
kajian kepemimpinan ini memberikan informasi tentang tipe-tipe tingkah laku
(types of behaviours) para pemimpin yang efektif. Tingkah laku para pemimpin
dapat dikatagorikan menjadi dua dimensi, yaitu struktur kelembagaan (initiating
structure) dan konsiderasi (consideration). Dimensi struktur kelembagaan
menggambarkan sampai sejauh mana para pemimpin mendefinisikan dan menyusun
interaksi kelompok dalam rangka pencapaian tujuan organisasi serta sampai
sejauh mana para pemimpin mengorganisasikan kegiatan-kegiatan kelompok mereka. Dimensi ini dikaitkan dengan usaha para pemimpin mencapai
tujuan organisasi. Dimensi konsiderasi menggambarkan sampai sejauh mana tingkat
hubungan kerja antara pemimpin dan bawahannya, dan sampai sejauh mana pemimpin
memperhatikan kebutuhan sosial dan emosi bagi bawahan seperti misalnya
kebutuhan akan pengakuan, kepuasan kerja dan penghargaan yang mempengaruhi
kinerja mereka dalam organisasi. Dimensi konsiderasi ini juga dikaitkan dengan
adanya pendekatan kepemimpinan yang mengutamakan komunikasi dua arah,
partisipasi dan hubungan manusiawi (human relations).
Halpin
(1966), Blake and Mouton (1985) menyatakan bahwa
tingkah laku pemimpin yang efektif cenderung menunjukkan kinerja yang tinggi
terhadap dua aspek di atas. Mereka berpendapat bahwa pemimpin yang efektif
adalah pemimpin yang menata kelembagaan organisasinya secara sangat
terstruktur, dan mempunyai hubungan yang persahabatan yang sangat baik, saling
percaya, saling menghargai dan senantiasa hangat dengan bawahannya. Secara
ringkas, model kepemimpinan efektif ini mendukung anggapan bahwa pemimpin yang
efektif adalah pemimpin yang dapat menangani kedua aspek organisasi dan manusia
sekaligus dalam organisasinya.
(d) Model Kepemimpinan Kontingensi (Contingency Model)
Studi
kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara
karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variabel-variabel
situasional. Kalau model kepemimpinan situasional berasumsi bahwa situasi yang
berbeda membutuhkan tipe kepemimpinan yang berbeda, maka model kepemimpinan
kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek
keterkaitan antara kondisi atau variabel situasional dengan watak atau tingkah
laku dan kriteria kinerja pemimpin (Hoy and Miskel 1987).
Model
kepemimpinan Fiedler (1967) disebut sebagai model kontingensi karena model
tersebut beranggapan bahwa kontribusi pemimpin terhadap efektifitas kinerja
kelompok tergantung pada cara atau gaya kepemimpinan (leadership style) dan
kesesuaian situasi (the favourableness of the situation) yang dihadapinya.
Menurut Fiedler, ada tiga faktor utama yang mempengaruhi kesesuaian situasi dan
ketiga faktor ini selanjutnya mempengaruhi keefektifan pemimpin. Ketiga faktor
tersebut adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan (leader-member relations),
struktur tugas (the task structure) dan kekuatan posisi (position power).
Hubungan
antara pemimpin dan bawahan menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin itu
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
dipercaya dan disukai oleh bawahan, dan kemauan bawahan untuk mengikuti petunjuk pemimpin. Struktur tugas menjelaskan sampai sejauh mana tugas-tugas dalam organisasi didefinisikan secara jelas dan sampai sejauh mana definisi tugas-tugas tersebut dilengkapi dengan petunjuk yang rinci dan prosedur yang baku. Kekuatan posisi menjelaskan sampai sejauh mana kekuatan atau kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin karena posisinya diterapkan dalam organisasi untuk menanamkan rasa memiliki akan arti penting dan nilai dari tugas-tugas mereka masing-masing. Kekuatan posisi juga menjelaskan sampai sejauh mana pemimpin (misalnya) menggunakan otoritasnya dalam memberikan hukuman dan penghargaan, promosi dan penurunan pangkat (demotions).Model kontingensi yang lain, Path-Goal Theory, berpendapat bahwa efektifitas pemimpin ditentukan oleh interaksi antara tingkah laku pemimpin dengan karakteristik situasi (House 1971). Menurut House, tingkah laku pemimpin dapat dikelompokkan dalam 4 kelompok: supportive leadership (menunjukkan perhatian terhadap kesejahteraan bawahan dan menciptakan iklim kerja yang bersahabat), directive leadership (mengarahkan bawahan untuk bekerja sesuai dengan peraturan, prosedur dan petunjuk yang ada), participative leadership (konsultasi dengan bawahan dalam pengambilan keputusan) dan achievement-oriented leadership (menentukan tujuan organisasi yang menantang dan menekankan perlunya kinerja yang memuaskan).
Menurut
Path-Goal Theory, dua variabel situasi yang sangat menentukan efektifitas
pemimpin adalah karakteristik pribadi para bawahan/karyawan dan lingkungan
internal organisasi seperti misalnya peraturan dan prosedur yang ada. Walaupun
model kepemimpinan kontingensi dianggap lebih sempurna dibandingkan modelmodel
sebelumnya dalam memahami aspek kepemimpinan dalam organisasi, namun demikian
model ini belum dapat menghasilkan klarifikasi yang jelas tentang kombinasi
yang paling efektif antara karakteristik pribadi, tingkah laku pemimpin dan
variabel situasional.
(e)
Model Kepemimpinan Transformasional (Model of Transformational Leadership)
Model
kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam
studi-studi kepemimpinan. Burns (1978) merupakan salah satu penggagas yang
secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Menurutnya,
untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan
transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan
transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi
dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya
menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan
para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin
transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas
organisasi.
Untuk
memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin
transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman
kepada bawahannya. Sebaliknya, Burns menyatakan bahwa model kepemimpinan
transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi
para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan.
Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan
mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui
kredibilitas pemimpinnya.Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the
dynamic of transformational leadership involve strong personal identification
with the leader, joining in a shared vision of the future, or goingbeyond the
self-interest exchange of rewards for compliance". Dengan demikian,
pemimpin transformasional merupakan pemimpin yang karismatik dan mempunyai
peran sentral dan strategis dalam membawa organisasi mencapai tujuannya.
Pemimpin transformasional juga harusmempunyai kemampuan untuk menyamakan visi
masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat
yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan. Menurut Yammarino dan
Bass (1990), pemimpin transformasional harus mampu membujuk para bawahannya
melakukan tugas-tugas mereka melebihi kepentingan mereka sendiri demi
kepentingan organisasi yang lebih besar.
Yammarino
dan Bass (1990) juga menyatakan bahwa pemimpin
transformasional mengartikulasikan visi masa depan organisasi yang realistik,
menstimulasi bawahan dengan cara yang intelektual, dan menaruh parhatian pada
perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh bawahannya. Dengan demikian, seperti
yang diungkapkan oleh Tichy and Devanna (1990), keberadaan para pemimpin
transformasional mempunyai efek transformasi baik pada tingkat organisasi
maupun pada tingkat individu.
Dalam
buku mereka yang berjudul "Improving Organizational Effectiveness
through Transformational Leadership", Bass dan Avolio (1994)
mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang
disebutnya sebagai "the Four I's". Dimensi yang pertama disebutnya
sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini
digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi,
menghormati dan sekaligus mempercayainya. Dimensi yang kedua disebut sebagai
inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin
transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan
pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya
terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam
organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme. Dimensi yang ketiga
disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin
transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang
kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan
memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang
baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi. Dimensi yang terakhir disebut
sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini,
pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau
mendengarkan dengan penuh perhatian masukan-masukan bawahan dan secara khusus
mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun
penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relatif baru, beberapa
hasil penelitian mendukung validitas keempat dimensi yang dipaparkan oleh Bass
dan Avilio di atas. Banyak peneliti dan praktisi manajemen yang sepakat bahwa
model kepemimpinan transformasional merupakan konsep kepemimpinan yang terbaik
dalam menguraikan karakteristik pemimpin (Sarros dan Butchatsky 1996). Konsep
kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan
dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan
juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan
konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi (seperti
misalnya Weber 1947) dan ahli-ahli politik (seperti misalnya Burns 1978).
Beberapa
ahli manajemen menjelaskan konsep-konsep kepimimpinan yang mirip dengan
kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan yang karismatik,
inspirasional dan yang mempunyai visi (visionary). Meskipun terminologi yang
digunakan berbeda, namun fenomenafenomana kepemimpinan yang digambarkan dalam
konsep-konsep tersebut lebih banyak persamaannya daripada perbedaannya. Bryman
(1992) menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the
new leadership), sedangkan Sarros dan Butchatsky (1996) menyebutnya sebagai
pemimpin penerobos (breakthrough leadership).
Disebut
sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa
perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun
organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri
individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses
penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai
organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan
menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan mencoba untuk merealisasikan
tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.
Pemimpin penerobos memahami pentingnya perubahan-perubahan yang mendasar dan
besar dalam kehidupan dan pekerjaan mereka dalam mencapai hasil-hasil yang
diinginkannya. Pemimpin penerobos mempunyai pemikiran yang metanoiac, dan
dengan bekal pemikiran ini sang pemimpin mampu menciptakan pergesaran paradigma
untuk mengembangkan Praktekorganisasi yang sekarang dengan yang lebih baru dan
lebih relevan. Metanoia berasaldari kata Yunani meta yang berarti perubahan,
dan nous/noos yang berarti pikiran.
Dengan
perkembangan globalisasi ekonomi yang makin nyata, kondisi di berbagai pasar
dunia makin ditandai dengan kompetisi yang sangat tinggi (hyper-competition).
Tiap keunggulan daya saing perusahaan yang terlibat dalam permainan global
(global game) menjadi bersifat sementara (transitory). Oleh karena itu,
perusahaan sebagai pemain dalam permainan global harus terus menerus
mentransformasi seluruh aspek manajemen internal perusahaan agar selalu relevan
dengan kondisi persaingan baru.
Pemimpin
transformasional dianggap sebagai model pemimpin yang tepat dan yang mampu
untuk terus-menerus meningkatkan efisiensi, produktifitas, dan inovasi usaha
guna meningkatkan daya saing dalam dunia yang lebih bersaing.
kepemimpinan
karismatik selama ini selalu identik dengan pengamatan pemimpin di politik dan
keagamaan bukan kepemimpinan organisasi dan perusahaan. Karisma berasal
dari bahasa yunani diartikan karunia diispirasi ilahi (divenely
inspired gift) seperti kemampuan meramal dimasa yang akan datang.
Para
ahli sepakat mengartikan karisma sebagai "suatu hasil persepsi para
pengikut dan atribut-atribut yang dipengaruhi oleh kemampuan-kemampuan aktual
dan prilaku dari para pemimpin dalam konteks situasi kepemimpinan dan dalam
kebutuhan-kebutuhn individual maupun kolektif para pengikut " (Yukl,
1994:269)
Beberapa teori karismatik
Ada teori
atribusi yang menyatakan bahwa kepemimpinan karismatik didasarkan atas asumsi
bahwa karisma adalah sebuah fenomena atribusi (Conger & Kanungo,
1987) dan ada juga teori konsep sendiri yang menyangku karismatik seorang
pemimpin dapat dilihat pada sejauh mana apeksi seorang pengikut,
keterlibatan emosi dan motivasi yang tinggi didasari pengorbanan jiwa yang luar
biasa (Shamir, house, Arthur, 1993) selain konsep teori tinjauan
psiko-analisa karisma seorang pemimpin diberlakukan sangat tidak realistis dan
tingkat identifikasi ekstrim oleh para pengikut baik melalui pemindahan karisma
masa lalu seperti karisma trah Ir. Sukarno yang melegendaris ada pada mantan
presiden Megawati yang mengarah pada kultus dengan berbagai konsekuensi
negatif. konsekuensi karismatik negatif (Conger, 1990) dapat dilihat
dari pola hubungan antara lain :
- Hubungan antar pribadi yang jelek
tidak sesuai dengan pendahulunya
- Konsekuensi negatif dari prilaku
impulsif dan tidak konvensional
- Konsekuensi negatif dari manajemen
kesan bahwa dirnya sangat dibutuhkan pengikut atau karena sekedar
mendompleng nama pendahulunya
- Praktik administrasi lemah,
karismatik dalam memimpin tapi sangat lemah dalam penataan aktiftas yang
membutuhkan dukungan administratif
- Konsekuensi negatif dari dari rasa
percaya diri yang lemah karena berbeda kapasitas dan kredibilitas dan
dirinya memuja dirinya berlebihan (Narcisis).
- Gagal untuk merencanakan suksesi
kepemimpinan karena belum tentu ada yang selevel dengan dirinya sehingga
mematikan pengkaderan dlam organisasi.
No comments:
Post a Comment