KEMISKINAN
Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan
sering diartikan sebagai kondisi kekurangan material yang dialami seseorang,
kelompok atau masyarakat. Dengan pengertian ini, maka seseorang
masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum
kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Definisi ini memang mudah
dimengerti karena indikator kemiskinan dapat ditentukan dengan kemampuan untuk
memenuhi kebutuhan pokok saja. Tetapi disisi lain definisi ini dianggap justru
mengaburkan makna subtansial kemiskinan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena;
(1) kemiskinan bukan hanya soal material, tapi ada faktor lain yang saling
berkaitan; (2) menyebabkan munculnya penafsiran yang keliru dalam
penanggulangan kemiskinan yaitu cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan
yang memadai; (3) berpotensi memunculkan kebijakan yang sempit bagi pengambil
keputusan karena mengabaikan keterlibatan lintas sektor.
Menurut Suparlan (1993: xi) kemiskinan dapat didefinisikan sebagai:
Suatu
standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi
pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang
umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah
ini secara langsung berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral,
dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Definisi ini menggambarkan bahwa kondisi kemiskinan didapatkan ketika
kondisi tersebut dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya. Beberapa ahli
menamakan kondisi seperti ini adalah kemiskinan relatif. Namun tidak hanya
perbandingan kondisi yang menjadi persoalan, standar hidup pun menjadi
indikator kemiskinan dalam definisi ini, karena mempunyai pengaruh yang
berkelanjutan terhadap masalah lainnya.
Masih
menurut Suparlan
(1994), kemiskinan dinyatakan sebagai:
suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau
sekelompok orang. Akibat dari
kekurangan harta atau benda tersebut
maka seseorang atau sekelompok orang itu
merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan idupnya sebagaimana layaknya. Kekurangmampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya
(adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau
pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
social (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya).
Sedangkan BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana
seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi
hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang
bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,
sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman
tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik,
baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Pendekatan dalam Studi Kemiskinan
Ada dua
pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang kemiskinan, yaitu pedekatan
obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektik yaitu pendekatan dengan
menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama
para ahli yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart
kehidupan, sedangkan pendekatan subyektif adalah pendekatan dengan menggunakan
ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur
dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang
kaya yang ada dilingkungannya. Seperti diungkapkan oleh Joseph F. Stepanek, ed.
(1985) bahwa pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau
pandangan orang miskin sendiri.
Pendekatan
obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada
penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan.
Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi
pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga.
Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin, BAPPENAS menggunakan
beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan
pendapatan (income approach),
pendekatan kemampuan dasar (human
capability approach) dan pendekatan objective
and subjective.
Dalam pendekatan kebutuhan dasar, kemiskinan dilihat sebagai suatu
ketidakmampuan (lack of capabilities)
seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara
lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air
bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh
rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan
pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan
seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar
pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya.
Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan
dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal
dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya
kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.
Berbeda
dengan pendekatan lainnya Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan
sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan,
tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan
kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain
meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan,
perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa
aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi
dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
Penyebab
Kemiskinan
Penyebab kemiskinan terkait dengan dimensi sosial, ekonomi,
dan budaya, sehingga penyebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan
karena sebab-sebab alami (kemiskinan natural), kemiskinan struktural, dan
kemiskinan kultural (Nugroho dan Dahuri, 2002).
a. Kemiskinan alami merupakan kemiskinan
yang disebabkan oleh keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumberdaya
manusia. Akibatnya, sistem produksi dalam masyarakat beroperasi tidak optimal
dengan tingkat efisiensi yang rendah.
b. Kemiskinan struktural merupakan
kemiskinan yang langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh berbagai
kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan. Kemiskinan umumnya
ditandai dengan adanya ketimpangan antara lain ketimpangan kepemilikan sumber
daya, kesempatan berusaha, keterampilan, dan faktor lain yang menyebabkan
perolehan pendapatan tidak seimbang dan juga mengakibatkan ketimpangan struktur
sosial.
c. Kemiskinan kultural adalah kemiskinan
yang lebih banyak disebabkan oleh sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan
gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam lingkaran
kemiskinan.
Penyebab kemiskinan tersebut selanjutnya mempengaruhi
karakteristik kemiskinan yang terjadi. Pada dasarnya, penyebab kemiskinan
tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam individu
penduduk masing-masing, seperti rendahnya motivasi yang ada dalam diri
penduduk, minimnya modal, dan lemahnya penguasaan terhadap aspek manajemen dan
teknologi. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar
individu masing-masing penduduk seperti minimnya ketersediaan infrastruktur,
dan lain-lain.
Indikator Kemiskinan
Perbedaan konsep dalam memandang kemiskinan, mengakibatkan beragamnya
penggunaan indikator dalam mengukur tingkat kemiskinan. Indikator tingkat
kemiskinan yang digunakan selama ini, kebanyakan menggunakan ukuran ekonomi,
daripada dari aspek keberfungsian sosial, maupun kualitas manusianya. Pertimbangannya karena aspek ekonomi lebih
mudah diukur secara empiris, dan mudah dimengerti oleh masyarakat.
Terdapat dua kategori tingkat kemiskinan, yaitu kemiskinan absolut dan
kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana tingkat
pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti
pangan, sandang, pakaian, papan, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan kemiskinan
relatif adalah perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi
pendapatan dalam suatu daerah ( Hurairah, 2008)
Indikator
kemiskinan
menurut SMERU dalam Suharto
( 2006 : 133), adalah :
a.
Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar
(sandang, pangan, dan papan).
b.
Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya
(kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
c. Ketiadaan jaminan masa depan
(karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
d.
Kerentanan terhadap goncangan
yang bersifat individual maupun massal.
e.
Rendahnya kualitas sumber daya
manusia dan keterbatasan sumber daya alam.
f.
Ketiadaan akses terhadap
lapangan kerja dan mata pencahariaan yang berkesinambungan.
g.
Ketidakmampuan untuk berusaha.
h.
Ketidakmampuan dan keberuntungan sosial.
Ukuran-ukuran dalam Kemiskinan
Ukuran dalam kemiskinan adalah
standar minimum kebutuhan yang harus dipenuhi.
a. Standar hidup minimum
Ukuran kemiskinan dikaitkan dengan
indikator pemenuhan hidup di suatu daerah (kota/desa), ukuran ini ditetapkan
oleh pemerintah lokal yang bersangkutan. DI Indonesia pengukuran standar hidup
minimum masih jarang dilakukan oleh pemerintah lokal, ukuran yang digunakan
adalah nasional atau internasional.
b. Standar kebutuhan pokok
Adalah ukuran kemiskinan ini
dikaitkan dengan kebutuhan beras dan gizi atau asupan kalori dalam makanan. Sayogyo
(1971) yang dikutip Prasetya (2008) menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras
per kapita sebagai indikator kemiskinan berdasarkan wilayah pedesaan dan
perkotaan. Untuk daerah pedesaan apabila
seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang
pertahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin. Sedangkan untuk
daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang pertahun.
Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat
konsumsi penduduk atas kebutuhan dasar.
Perbedaannya adalah bahwa BPS
tidak menyertakan kebutuhan-kebutuan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi
makanan, BPS menggunakan indikator kalori yang digunakan orang per hari, yaitu
2.100 kalori per orang per hari.
c. Kebutuhan fisik minimum
Adalah ukuran kemiskinan dikaitkan
dengan pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, perumahan, pendidikan dan kesehatan.
Dalam penggulangan
masalah kemiskinan melalui program bantuan langsung tunai, BPS (2005) telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria
keluarga miskin yang memuat
ukuran kemiskinan yaitu :
1)
Luas lantai banguan tempat
tinggal kurang dari 8 m 2 per orang
2)
Jenis lantai bangunan tempat
tinggal terbuat dari tanah, bambu/kayu murahan
3) jenis dinding tempat tinggal
terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4)
Tidak memiliki fasilitas buang
air besar/bersama-sama dengan rumah
tangga lain.
5)
Sumber penerangan rumah tangga
tidak menggunakan listrik.
6)
Sumber airminum berasal dari
sumur/ mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan
7)
bahan bakar untuk memasak
sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8)
hanya mengkonsumsi
daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9)
Hanya membeli satu stel pakaian
baru dalam setahun
10)
Hanya sanggup makan sebanyak
satu/dua kali dalam sehari.
11)
tidak sanggup membayar biaya
pengobatan di puskesmas/ poliklinik
12) Sumber penghasilan kepala rumah
tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh
bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah
Rp.600.000,- per bulan.
13)
pendidikan tertinggi kepala
rumah tangga; tidak bersekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14)
Tidak memiliki tabungan/barang
yangmudah dijual dengan nilai Rp.500.000,-, seperti: sepeda motor (kredit/non
kredit) emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnuya.
d. Garis kemiskinan ( poverty line )
Ukuran kemiskinan ini
dikaitkan dengan pendapatan minimal dibandingkan dengan standar tertentu. Bank Dunia (2003) menetapkan garis kemiskinan
ditunjukkan oleh ukuran pendapatan di bawah US$1 per hari (PP), Sedangkan BPS (
2009) menetapkan bahwa pendapatan minimal untuk wilayah perkotaan dibawah
Rp.325.000,-/bulan dan wilayah pedesaan dibawah Rp.175.000,-/perbulan.
e. Pendapatan rata-rata minimum
Ukuran kemiskinan ini dikaitkan
dengan kelompok masyarakat yang mempunyai pendapatan di bawah upah minimum
regional (upah yang ditetapkan pemerintah setempat). Untuk mengukur tingkat
kemiskinan di daerah setempat, tingkat penghasilan orang miskin diperbandingkan
dengan standard yang berlaku di daerah itu, dalam hal ini standar yang
dipergunakan adalah Upah Minimum Regional (UMR).
Dengan penghasilan rata-rata keluarga miskin
sebesar Rp15.000-Rp22.000/KK/hari atau Rp. 660.000/bulan. Dengan jumlah
rata-rata anggota keluarga keluarga miskin sebanyak 4-5 orang. maka penghasilan perkapita orang
miskin adalah sebesar Rp 4.400/hari/orang atau Rp 132.000,-/bulan/orang berada
jauh dibawah UMR.
Upaya keluarga miskin untuk menutupi kekurangan biaya hidup
sehari-hari tersebut adalah dengan cara meminjam uang dari 1-2 orang rentenir
yang harus dikembalikan secara harian dengan bunga 15-17% dari pokok pinjaman.
Ciri-ciri Kemiskinan
Perubahan sosial dan modernisasi kehidupan telah mengubah kehidupan
pola konsumsi, gaya hidup, dan perilaku sosial menuju pada perbaikan
kesejahteraan (Shalimow, 2004). Kemiskinan merupakan keadaan kekurangan barang
dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai standar hidup yang layak, karena
standar hidup tersebut berbeda-beda, maka tidak ada konsep kemiskinan yang
universal (Levitan dalam Effendi, 1993:12).
Dari uraian di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri kemiskinan untuk daerah setempat adalah
sebagai berikut:
a.
Penghasilan rata-rata
keluarga miskin adalah Rp 660.000,-/KK/bulan;
b.
Hidup di lingkungan
yang tidak sehat dan kumuh;
c.
Terlilit utang
dengan rentenir (bisa sampai 2-3 orang rentenir);
d.
Mata pencaharian
tidak menetap dan penghasilan tidak menetap atau bekerja pada sektor informal.
(pemulung, pedagang asongan, tukang parkir, tukang becak dll);
e. Terbatasnya akses
terhadap pelayanan sosial seperti pendidikan,
kesehatan dan jaminan sosial;
f.
Jaringan sosial
terbatas;
g.
Pola hidup bersih
dan sehat masih rendah;
h. Tinggal di rumah
yang tidak layak huni (dinding bambu, lantai tanah/semen, rumah menempel atau
numpang, tidak ada fasilitas air bersih sendiri dan MCK tidak layak);
i.
Pelaksanaan ibadah
rendah;
j. Cara pengelolaan
keuangan rendah (tidak mempunyai tabungan, apabila mendapat uang lebih,
biasanya berlaku boros atau berfoya-foya).
Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Strategi pengentasan
kemiskinan dikemukakan oleh United Nations Economic and Social Comission for Asia Pacific (Unescap) (2000), bahwa strategi
penanggulangan kemiskinan terdiri dari penanggulangan kemiskinan uang;
kemiskinan akses ekonomi,
sosial dan budaya;
dan penanggulangan kemiskinan
terhadap akses kekuasaan dan informasi.
Sementara itu Gunnar Adler
Karlsson dalam Ala (1981:31) memandang bahwa
strategi memerangi kemiskinan dikaitkan
dengan jangka waktu pelaksanaan yaitu, meliputi (1) strategi dalam jangka pendek yaitu
memindahkan sumberdaya-sumberdaya kepada kaum miskin dalam jumlah yang
memadai. (2) Strategi jangka panjang dengan
menumbuhkan swadaya setempat.
Sedangkan upaya
penanggulangan kemiskinan menurut Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas
ditempuh melalui dua strategi utama. Pertama, melindungi
keluarga dan kelompok
masyarakat yang mengalami kemiskinan sementara. Kedua,
membantu masyarakat yang mengalami kemiskinan kronis dengan
memberdayakan dan mencegah terjadinya kemiskinan baru. Strategi tersebut selanjutnya
dituangkan dalam tiga program yang langsung diarahkan
pada penduduk miskin yaitu: 1) Penyediaan Kebutuhan Pokok; 2) Pengembangan Sistem Jaminan Sosial; dan 3)
Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat
Miskin.
No comments:
Post a Comment