Wednesday, 23 March 2016

Kemiskinan


KEMISKINAN

Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan sering diartikan sebagai kondisi kekurangan material yang dialami seseorang, kelompok atau masyarakat. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok untuk dapat hidup secara layak. Definisi ini memang mudah dimengerti karena indikator kemiskinan dapat ditentukan dengan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja. Tetapi disisi lain definisi ini dianggap justru mengaburkan makna subtansial kemiskinan itu sendiri. Hal ini disebabkan karena; (1) kemiskinan bukan hanya soal material, tapi ada faktor lain yang saling berkaitan; (2) menyebabkan munculnya penafsiran yang keliru dalam penanggulangan kemiskinan yaitu cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang memadai; (3) berpotensi memunculkan kebijakan yang sempit bagi pengambil keputusan karena mengabaikan keterlibatan lintas sektor.
Menurut Suparlan (1993: xi) kemiskinan dapat didefinisikan sebagai:
Suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau golongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung berpengaruh terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
 
Definisi ini menggambarkan bahwa kondisi kemiskinan didapatkan ketika kondisi tersebut dibandingkan dengan lingkungan sekitarnya. Beberapa ahli menamakan kondisi seperti ini adalah kemiskinan relatif. Namun tidak hanya perbandingan kondisi yang menjadi persoalan, standar hidup pun menjadi indikator kemiskinan dalam definisi ini, karena mempunyai pengaruh yang berkelanjutan terhadap masalah lainnya.
Masih menurut Suparlan (1994), kemiskinan dinyatakan sebagai:
suatu keadaan kekurangan harta atau benda berharga yang diderita oleh seseorang atau sekelompok orang. Akibat dari kekurangan harta atau benda tersebut maka seseorang atau sekelompok orang itu merasa kurang mampu membiayai kebutuhankebutuhan idupnya sebagaimana layaknya. Kekurangmampuan tersebut mungkin hanya pada tingkat kebutuhan-kebutuhan budaya (adat, upacara-upacara, moral dan etika), atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan social (pendidikan, berkomunikasi dan berinteraksi dengan sesama) atau pada tingkat pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang mendasar (makan minum, berpakaian, bertempat tinggal atau rumah, kesehatan dan sebagainya).

Sedangkan BAPPENAS (2004) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu memenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat desa antara lain, terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
  
          Pendekatan dalam Studi Kemiskinan
Ada dua pendekatan yang dapat digunakan dalam studi tentang kemiskinan, yaitu pedekatan obyektif dan pendekatan subyektif. Pendekatan obyektik yaitu pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang telah ditentukan oleh pihak lain terutama para ahli yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial sesuai dengan standart kehidupan, sedangkan pendekatan subyektif adalah pendekatan dengan menggunakan ukuran kemiskinan yang ditentukan oleh orang miskin itu sendiri yang diukur dari tingkat kesejahteraan sosial dari orang miskin dibandingkan dengan orang kaya yang ada dilingkungannya. Seperti diungkapkan oleh Joseph F. Stepanek, ed. (1985) bahwa pendekatan subyektif menilai kemiskinan berdasarkan pendapat atau pandangan orang miskin sendiri.
Pendekatan obyektif atau sering juga disebut sebagai pendekatan kesejahteraan (the welfare approach) menekankan pada penilaian normatif dan syarat yang harus dipenuhi agar keluar dari kemiskinan. Dengan menggunakan pendekatan obyektif banyak ditemukan berbagai dimensi pendekatan yang digunakan oleh para ahli maupun lembaga.
Untuk mewujudkan hak-hak dasar masyarakat miskin, BAPPENAS menggunakan beberapa pendekatan utama antara lain; pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach), pendekatan pendapatan (income approach), pendekatan kemampuan dasar (human capability approach) dan pendekatan objective and subjective.
Dalam pendekatan kebutuhan dasar, kemiskinan dilihat sebagai suatu ketidakmampuan (lack of capabilities) seseorang, keluarga dan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan minimum, antara lain pangan, sandang, papan, pelayanan kesehatan, pendidikan, penyediaan air bersih dan sanitasi. Menurut pendekatan pendapatan, kemiskinan disebabkan oleh rendahnya penguasaan asset, dan alat-alat produktif seperti tanah dan lahan pertanian atau perkebunan, sehingga secara langsung mempengaruhi pendapatan seseorang dalam masyarakat. Pendekatan ini, menentukan secara rigid standar pendapatan seseorang di dalam masyarakat untuk membedakan kelas sosialnya. Pendekatan kemampuan dasar menilai kemiskinan sebagai keterbatasan kemampuan dasar seperti kemampuan membaca dan menulis untuk menjalankan fungsi minimal dalam masyarakat. Keterbatasan kemampuan ini menyebabkan tertutupnya kemungkinan bagi orang miskin terlibat dalam pengambilan keputusan.
Berbeda dengan pendekatan lainnya Pendekatan hak melihat bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Hak-hak dasar yang diakui secara umum antara lain meliputi terpenuhinya kebutuhan pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan, sumberdaya alam dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakukan atau ancaman tindak kekerasan dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik, baik bagi perempuan maupun laki-laki.
   
           Penyebab Kemiskinan
Penyebab kemiskinan terkait dengan dimensi sosial, ekonomi, dan budaya, sehingga penyebab kemiskinan dapat dibedakan menjadi kemiskinan karena sebab-sebab alami (kemiskinan natural), kemiskinan struktural, dan kemiskinan kultural (Nugroho dan Dahuri, 2002).
a.   Kemiskinan alami merupakan kemiskinan yang disebabkan oleh keterbatasan kualitas sumber daya alam maupun sumberdaya manusia. Akibatnya, sistem produksi dalam masyarakat beroperasi tidak optimal dengan tingkat efisiensi yang rendah.
b.   Kemiskinan struktural merupakan kemiskinan yang langsung maupun tidak langsung disebabkan oleh berbagai kebijakan, peraturan, dan keputusan dalam pembangunan. Kemiskinan umumnya ditandai dengan adanya ketimpangan antara lain ketimpangan kepemilikan sumber daya, kesempatan berusaha, keterampilan, dan faktor lain yang menyebabkan perolehan pendapatan tidak seimbang dan juga mengakibatkan ketimpangan struktur sosial.
c.       Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang lebih banyak disebabkan oleh sikap individu dalam masyarakat yang mencerminkan gaya hidup, perilaku, atau budaya yang menjebak dirinya dalam lingkaran kemiskinan.

Penyebab kemiskinan tersebut selanjutnya mempengaruhi karakteristik kemiskinan yang terjadi. Pada dasarnya, penyebab kemiskinan tersebut dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor yang berasal dari dalam individu penduduk masing-masing, seperti rendahnya motivasi yang ada dalam diri penduduk, minimnya modal, dan lemahnya penguasaan terhadap aspek manajemen dan teknologi. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berasal dari luar individu masing-masing penduduk seperti minimnya ketersediaan infrastruktur, dan lain-lain.

      Indikator Kemiskinan
Perbedaan konsep dalam memandang kemiskinan, mengakibatkan beragamnya penggunaan indikator dalam mengukur tingkat kemiskinan. Indikator tingkat kemiskinan yang digunakan selama ini, kebanyakan menggunakan ukuran ekonomi, daripada dari aspek keberfungsian sosial, maupun kualitas manusianya.  Pertimbangannya karena aspek ekonomi lebih mudah diukur secara empiris, dan mudah dimengerti oleh masyarakat.
Terdapat dua kategori tingkat kemiskinan, yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah suatu kondisi dimana tingkat pendapatan seseorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya seperti pangan, sandang, pakaian, papan, kesehatan dan pendidikan. Sedangkan kemiskinan relatif adalah perhitungan kemiskinan berdasarkan proporsi distribusi pendapatan dalam suatu daerah ( Hurairah, 2008)
Indikator kemiskinan menurut SMERU dalam Suharto  ( 2006 : 133), adalah  :
a.      Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, dan papan).
b.     Ketiadaan akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih dan transportasi).
c.     Ketiadaan jaminan masa depan (karena tiadanya investasi untuk pendidikan dan keluarga).
d.     Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal.
e.      Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan keterbatasan sumber daya alam.
f.      Ketiadaan akses terhadap lapangan kerja dan mata pencahariaan yang berkesinambungan.
g.     Ketidakmampuan untuk berusaha.
h.     Ketidakmampuan dan keberuntungan sosial.

      Ukuran-ukuran dalam Kemiskinan
Ukuran dalam kemiskinan adalah standar minimum kebutuhan yang harus dipenuhi.
a.       Standar hidup minimum
  Ukuran kemiskinan dikaitkan dengan indikator pemenuhan hidup di suatu daerah (kota/desa), ukuran ini ditetapkan oleh pemerintah lokal yang bersangkutan. DI Indonesia pengukuran standar hidup minimum masih jarang dilakukan oleh pemerintah lokal, ukuran yang digunakan adalah nasional atau internasional.
b.      Standar kebutuhan pokok
    Adalah ukuran kemiskinan ini dikaitkan dengan kebutuhan beras dan gizi atau asupan kalori dalam makanan. Sayogyo (1971) yang dikutip Prasetya (2008)  menggunakan tingkat konsumsi ekuivalen beras per kapita sebagai indikator kemiskinan berdasarkan wilayah pedesaan dan perkotaan.  Untuk daerah pedesaan apabila seseorang hanya mengkonsumsi ekuivalen beras kurang dari 240 kg per orang pertahun, maka yang bersangkutan digolongkan sangat miskin. Sedangkan untuk daerah perkotaan ditentukan sebesar ekuivalen 360 kg beras per orang pertahun. Sedangkan Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung angka kemiskinan lewat tingkat konsumsi penduduk atas  kebutuhan dasar. Perbedaannya adalah bahwa BPS tidak menyertakan kebutuhan-kebutuan dasar dengan jumlah beras. Dari sisi makanan, BPS menggunakan indikator kalori yang digunakan orang per hari, yaitu 2.100 kalori per orang per hari.
c.       Kebutuhan fisik minimum
   Adalah ukuran kemiskinan dikaitkan dengan pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, perumahan, pendidikan dan kesehatan. Dalam penggulangan masalah kemiskinan melalui program bantuan langsung tunai, BPS (2005)  telah menetapkan 14 (empat belas) kriteria keluarga miskin yang memuat ukuran kemiskinan yaitu :
1)      Luas lantai banguan tempat tinggal kurang dari 8 m 2 per orang
2)      Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah, bambu/kayu murahan
3)   jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
4)      Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan  rumah tangga lain.
5)      Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6)      Sumber airminum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindungi/sungai/air hujan
7)      bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah.
8)      hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu.
9)      Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
10)     Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari.
11)     tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik
12)  Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan, atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp.600.000,- per bulan.
13)     pendidikan tertinggi kepala rumah tangga; tidak bersekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14)     Tidak memiliki tabungan/barang yangmudah dijual dengan nilai Rp.500.000,-, seperti: sepeda motor (kredit/non kredit) emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnuya.
d.      Garis kemiskinan ( poverty line )
Ukuran kemiskinan ini dikaitkan dengan pendapatan minimal dibandingkan dengan standar tertentu.  Bank Dunia (2003) menetapkan garis kemiskinan ditunjukkan oleh ukuran pendapatan di bawah US$1 per hari (PP), Sedangkan BPS ( 2009) menetapkan bahwa pendapatan minimal untuk wilayah perkotaan dibawah Rp.325.000,-/bulan dan wilayah pedesaan dibawah Rp.175.000,-/perbulan.
e.       Pendapatan  rata-rata minimum
Ukuran kemiskinan ini dikaitkan dengan kelompok masyarakat yang mempunyai pendapatan di bawah upah minimum regional (upah yang ditetapkan pemerintah setempat). Untuk mengukur tingkat kemiskinan di daerah setempat, tingkat penghasilan orang miskin diperbandingkan dengan standard yang berlaku di daerah itu, dalam hal ini standar yang dipergunakan adalah Upah Minimum Regional (UMR).
Dengan penghasilan rata-rata keluarga miskin sebesar Rp15.000-Rp22.000/KK/hari atau Rp. 660.000/bulan. Dengan jumlah rata-rata anggota keluarga keluarga miskin sebanyak 4-5 orang. maka penghasilan perkapita orang miskin adalah sebesar Rp 4.400/hari/orang atau Rp 132.000,-/bulan/orang berada jauh dibawah UMR.
Upaya keluarga miskin untuk menutupi kekurangan biaya hidup sehari-hari tersebut adalah dengan cara meminjam uang dari 1-2 orang rentenir yang harus dikembalikan secara harian dengan bunga 15-17% dari pokok pinjaman.
                  
                  Ciri-ciri Kemiskinan
Perubahan sosial dan modernisasi kehidupan telah mengubah kehidupan pola konsumsi, gaya            hidup, dan perilaku sosial menuju pada perbaikan kesejahteraan (Shalimow, 2004).                              Kemiskinan merupakan keadaan kekurangan barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk                  mencapai standar hidup yang layak, karena standar hidup tersebut berbeda-beda, maka tidak                ada konsep kemiskinan yang universal (Levitan dalam Effendi, 1993:12).
Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa ciri kemiskinan untuk daerah setempat                   adalah sebagai berikut:
a.       Penghasilan rata-rata keluarga miskin adalah Rp 660.000,-/KK/bulan;
b.      Hidup di lingkungan yang tidak sehat dan kumuh;
c.       Terlilit utang dengan rentenir (bisa sampai 2-3 orang rentenir);
d.      Mata pencaharian tidak menetap dan penghasilan tidak menetap atau bekerja pada sektor informal. (pemulung, pedagang asongan, tukang parkir, tukang becak dll);
e.    Terbatasnya akses terhadap pelayanan sosial seperti pendidikan,  kesehatan dan jaminan sosial;
f.       Jaringan sosial terbatas;
g.      Pola hidup bersih dan sehat masih rendah;
h.  Tinggal di rumah yang tidak layak huni (dinding bambu, lantai tanah/semen, rumah menempel atau numpang, tidak ada fasilitas air bersih sendiri dan MCK tidak layak);
i.        Pelaksanaan ibadah rendah;
j.    Cara pengelolaan keuangan rendah (tidak mempunyai tabungan, apabila mendapat uang lebih, biasanya berlaku boros atau berfoya-foya).
      
      Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Strategi pengentasan kemiskinan dikemukakan oleh United Nations Economic and Social Comission for Asia Pacific (Unescap) (2000), bahwa strategi penanggulangan kemiskinan terdiri dari penanggulangan kemiskinan uang;  kemiskinan  akses  ekonomi,  sosial  dan  budaya;  dan penanggulangan kemiskinan terhadap akses kekuasaan dan informasi.
Sementara itu Gunnar Adler Karlsson dalam Ala (1981:31) memandang bahwa strategi memerangi kemiskinan dikaitkan dengan jangka waktu  pelaksanaan yaitu, meliputi (1) strategi dalam jangka pendek yaitu memindahkan sumberdaya-sumberdaya kepada kaum miskin dalam jumlah yang memadai. (2) Strategi jangka panjang dengan menumbuhkan swadaya setempat.
Sedangkan upaya penanggulangan kemiskinan menurut Undang Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Propenas  ditempuh melalui dua strategi utama. Pertama,  melindungi  keluarga  dan  kelompok  masyarakat  yang  mengalami kemiskinan   sementara. Kedua, membantu masyarakat   yang   mengalami kemiskinan kronis dengan memberdayakan dan mencegah terjadinya kemiskinan  baru. Strategi tersebut selanjutnya dituangkan dalam tiga program yang langsung diarahkan pada penduduk miskin yaitu: 1) Penyediaan Kebutuhan Pokok; 2) Pengembangan Sistem Jaminan Sosial; dan 3) Pengembangan Budaya Usaha Masyarakat Miskin.


No comments:

Post a Comment