TIPE DAN MODEL KEPEMIMPINAN
Tipologi Kepemimpinan
Dalam praktiknya, dari ketiga gaya kepemimpinan tersebut berkembang
beberapa tipe kepemimpinan; di antaranya adalah sebagian berikut
(Siagian,1997).
1.
Tipe Otokratis.
Seorang pemimpin yang
otokratis ialah pemimpin yang memiliki kriteria atau ciri sebagai berikut:
Menganggap organisasi sebagai pemilik pribadi; Mengidentikkan tujuan pribadi
dengan tujuan organisasi; Menganggap bawahan sebagai alat semata-mata; Tidak
mau menerima kritik, saran dan pendapat; Terlalu tergantung kepada kekuasaan
formalnya; Dalam tindakan pengge-rakkannya sering memperguna-kan pendekatan
yang mengandung unsur paksaan dan bersifat menghukum.
2.
Tipe Militeristis.
Perlu diperhatikan
terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dari seorang pemimpin tipe militerisme
berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang
bertipe militeristis ialah seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat berikut :
Dalam menggerakan bawahan sistem perintah yang lebih sering dipergunakan; Dalam
menggerakkan bawahan senang bergantung kepada pangkat dan jabatannya; Senang
pada formalitas yang berlebih-lebihan; Menuntut disiplin yang tinggi dan kaku
dari bawahan; Sukar menerima kritikan dari bawahannya; Menggemari
upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
3.
Tipe Paternalistis.
Seorang pemimpin yang
tergolong sebagai pemimpin yang paternalistis ialah seorang yang memiliki ciri
sebagai berikut : menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa;
bersikap terlalu melindungi (overly protective); jarang memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan; jarang memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif; jarang memberikan
kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya;
dan sering bersikap maha tahu.
4.
Tipe Karismatik.
Hingga sekarang ini para
ahli belum berhasil menemukan sebab-sebab-sebab mengapa seseorang pemimpin
memiliki karisma. Umumnya diketahui bahwa pemimpin yang demikian mempunyai daya
tarik yang amat besar dan karenanya pada umumnya mempunyai pengikut yang
jumlahnya yang sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat
menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu. Karena kurangnya
pengetahuan tentang sebab musabab seseorang menjadi pemimpin yang karismatik, maka sering hanya
dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (supra
natural powers). Kekayaan, umur,
kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk karisma.
Gandhi bukanlah seorang yang kaya, Iskandar Zulkarnain bukanlah seorang yang
fisik sehat, John F Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki karisma
meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi Presiden Amerika Serikat.
Mengenai profil, Gandhi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang ‘ganteng”.
5.
Tipe Demokratis.
Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan
bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi
modern. Hal ini terjadi karena tipe kepemimpinan ini memiliki karakteristik
sebagai berikut : dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari
pendapat bahwa manusia itu adalah makhluk yang termulia di dunia; selalu
berusaha mensinkronisasikan kepentingan dan tujuan organisasi dengan
kepentingan dan tujuan pribadi dari pada bawahannya; senang menerima saran,
pendapat, dan bahkan kritik dari bawahannya; selalu berusaha mengutamakan
kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan; ikhlas memberikan
kebebasan yang seluas-luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang
kemudian diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbuat kesalahan yang sama,
tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain; selalu berusaha untuk
menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya; dan berusaha mengembangkan
kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin. Secara implisit tergambar bahwa
untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah hal yang mudah. Namun, karena
pemimpin yang demikian adalah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua
pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.
Model Kepemimpinan.
Model kepemimpinan didasarkan pada pendekatan yang
mengacu kepada hakikat kepemimpinan yang berlandaskan pada perilaku dan
keterampilan seseorang yang berbaur kemudian membentuk gaya kepemimpinan yang berbeda. Beberapa model yang menganut pendekatan
ini, di antaranya adalah sebagai berikut.
1.
Model Kepemimpinan Kontinum (Otokratis-Demokratis).
Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard
(1994) berpendapat bahwa pemimpin mempengaruhi pengikutnya melalui beberapa
cara, yaitu dari cara yang menonjolkan sisi ekstrim yang disebut dengan
perilaku otokratis sampai dengan cara yang menonjolkan sisi ekstrim lainnya
yang disebut dengan perilaku demokratis. Perilaku otokratis, pada umumnya
dinilai bersifat negatif, di mana sumber kuasa atau wewenang berasal dari
adanya pengaruh pimpinan. Jadi otoritas berada di tangan pemimpin, karena
pemusatan kekuatan dan pengambilan keputusan ada pada dirinya serta memegang
tanggung jawab penuh, sedangkan bawahannya dipengaruhi melalui ancaman dan
hukuman. Selain bersifat negatif, gaya kepemimpinan ini mempunyai manfaat
antara lain, pengambilan keputusan cepat, dapat memberikan kepuasan pada
pimpinan serta memberikan rasa aman dan keteraturan bagi bawahan. Selain itu, orientasi utama dari perilaku
otokratis ini adalah pada tugas. Perilaku demokratis; perilaku kepemimpinan ini
memperoleh sumber kuasa atau wewenang yang berawal dari bawahan. Hal ini
terjadi jika bawahan dimotivasi dengan tepat dan pimpinan dalam melaksanakan
kepemimpinannya berusaha mengutamakan kerjasama dan team work untuk
mencapai tujuan, di mana si pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan
kritik dari bawahannya. Kebijakan di sini terbuka bagi diskusi dan keputusan
kelompok.
Namun, kenyataannya
perilaku kepemimpinan ini tidak mengacu pada dua model perilaku kepemimpinan
yang ekstrim di atas, melainkan memiliki kecenderungan yang terdapat di antara
dua sisi ekstrim tersebut. Tannenbaun dan Schmidt dalam Hersey dan Blanchard
(1994) mengelompokkannya menjadi tujuh kecenderungan perilaku kepemimpinan.
Ketujuh perilaku inipun tidak mutlak melainkan akan memiliki kecenderungan
perilaku kepemimpinan mengikuti suatu garis kontinum dari sisi otokratis yang
berorientasi pada tugas sampai dengan sisi demokratis yang berorientasi pada
hubungan.
2.
Model Kepemimpinan Ohio.
Dalam penelitiannya, Universitas Ohio melahirkan
teori dua faktor tentang gaya kepemimpinan yaitu struktur inisiasi dan konsiderasi
(Hersey dan Blanchard, 1992). Struktur inisiasi mengacu kepada perilaku
pemimpin dalam menggambarkan hubungan antara dirinya dengan anggota kelompok
kerja dalam upaya membentuk pola organisasi, saluran komunikasi, dan metode
atau prosedur yang ditetapkan dengan baik. Adapun konsiderasi mengacu kepada
perilaku yang menunjukkan persahabatan, kepercayaan timbal-balik, rasa hormat
dan kehangatan dalam hubungan antara pemimpin dengan anggota stafnya (bawahan).
Adapun contoh dari faktor konsiderasi misalnya pemimpin menyediakan waktu untuk
menyimak anggota kelompok, pemimpin mau mengadakan perubahan, dan pemimpin
bersikap bersahabat dan dapat didekati. Sedangkan contoh untuk faktor struktur
inisiasi misalnya pemimpin menugaskan tugas tertentu kepada anggota kelompok,
pemimpin meminta anggota kelompok mematuhi tata tertib dan peraturan standar,
dan pemimpin memberitahu anggota kelompok tentang hal-hal yang diharapkan dari
mereka. Kedua faktor dalam model kepemimpinan Ohio tersebut dalam
implementasinya mengacu pada empat kuadran, yaitu : (a) model kepemimpinan yang
rendah konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (b) model kepemimpinan yang
tinggi konsiderasi maupun struktur inisiasinya, (c) model kepemimpinan yang
tinggi konsiderasinya tetapi rendah struktur inisiasinya, dan (d) model
kepemimpinan yang rendah konsiderasinya tetapi tinggi struktur inisiasinya.
3.
Model Kepemimpinan Likert (Likert’s Management System).
Likert dalam Stoner (1978) menyatakan bahwa dalam
model kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam empat sistem, yaitu sistem
otoriter, otoriter yang bijaksana, konsultatif, dan partisipatif. Penjelasan
dari keempat sistem tersebut adalah seperti yang disajikan pada bagian berikut
ini. Sistem Otoriter (Sangat Otokratis). Dalam sistem ini, pimpinan menentukan
semua keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan, dan memerintahkan semua
bawahan untuk menjalankannya. Untuk itu, pemimpin juga menentukan standar
pekerjaan yang harus dijalankan oleh bawahan. Dalam menjalankan pekerjaannya,
pimpinan cenderung menerapkan ancaman dan hukuman. Oleh karena itu, hubungan
antara pimpinan dan bawahan dalam sistem adalah saling curiga satu dengan
lainnya. Sistem Otoriter Bijak (Otokratis Paternalistik). Perbedaan dengan
sistem sebelumnya adalah terletak kepada adanya fleksibilitas pimpinan dalam
menetapkan standar yang ditandai dengan meminta pendapat kepada bawahan. Selain
itu, pimpinan dalam sistem ini juga sering memberikan pujian dan bahkan hadiah
ketika bawahan berhasil bekerja dengan baik. Namun demikian, pada sistem inipun,
sikap pemimpin yang selalu memerintah tetap dominan.
Sistem Konsultatif.
Kondisi lingkungan kerja pada sistem ini dicirikan adanya pola komunikasi dua
arah antara pemimpin dan bawahan. Pemimpin dalam menerapkan kepemimpinannya
cenderung lebih bersifat menudukung. Selain itu sistem kepemimpinan ini juga
tergambar pada pola penetapan target atau sasaran organisasi yang cenderung
bersifat konsultatif dan memungkinkan diberikannya wewenang pada bawahan pada
tingkatan tertentu.
Sistem
Partisipatif. Pada sistem ini, pemimpin memiliki gaya kepemimpinan yang lebih
menekankan pada kerja kelompok sampai di tingkat bawah. Untuk mewujudkan hal
tersebut, pemimpin biasanya menunjukkan keterbukaan dan memberikan kepercayaan
yang tinggi pada bawahan. Sehingga dalam proses pengambilan keputusan dan
penentuan target pemimpin selalu melibatkan bawahan. Dalam sistem inipun, pola
komunikasi yang terjadi adalah pola dua arah dengan memberikan kebebasan kepada
bawahan untuk mengungkapkan seluruh ide ataupun permasalahannya yang terkait
dengan pelaksanaan pekerjaan.
Dengan demikian,
model kepemimpinan yang disampaikan oleh Likert ini pada dasarnya merupakan
pengembangan dari model-model yang dikembangkan oleh Universitasi Ohio, yaitu
dari sudut pandang struktur inisasi dan konsiderasi.
4.
Model Kepemimpinan Managerial Grid.
Jika dalam model Ohio, kepemimpinan ditinjau dari
sisi struktur inisiasi dan konsideransinya, maka dalam model manajerial grid
yang disampaikan oleh Blake dan Mouton dalam Robbins (1996) memperkenalkan
model kepemimpinan yang ditinjau dari perhatiannya terhadap tugas dan perhatian
pada orang. Kedua sisi tinjauan model kepemimpinan ini kemudian diformulasikan
dalam tingkatan-tingkatan, yaitu antara 0 sampai dengan 9. Dalam pemikiran
model managerial grid adalah seorang pemimpin selain harus lebih
memikirkan mengenai tugas-tugas yang akan dicapainya juga dituntut untuk
memiliki orientasi yang baik terhadap hubungan kerja dengan manusia sebagai
bawahannya. Artinya bahwa seorang pemimpin tidak dapat hanya memikirkan pencapaian
tugas saja tanpa memperhitungkan faktor hubungan dengan bawahannya, sehingga
seorang pemimpin dalam mengambil suatu sikap terhadap tugas,
kebijakan-kebijakan yang harus diambil, proses dan prosedur penyelesaian tugas,
maka saat itu juga pemimpin harus memperhatikan pola hubungan dengan staf atau
bawahannya secara baik. Menurut Blake dan Mouton ini, kepemimpinan dapat
dikelompokkan menjadi empat kecenderungan yang ekstrim dan satu kecenderungan
yang terletak di tengah-tengah keempat gaya ekstrim tersebut. Gaya kepemimpinan
tersebut adalah :
5. Model Kepemimpinan Kontingensi. Model kepemimpinan kontingensi dikembang-kan oleh Fielder. Fielder dalam
Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1995) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan yang
paling sesuai bagi sebuah organisasi bergantung pada situasi di mana pemimpin
bekerja. Menurut model kepemimpinan ini, terdapat tiga variabel utama yang
cenderung menentukan apakah situasi menguntukang bagi pemimpin atau tidak. Ketiga
variabel utama tersebut adalah : hubungan pribadi pemimpin dengan para anggota
kelompok (hubungan pemimpin-anggota); kadar struktur tugas yang ditugaskan
kepada kelompok untuk dilaksanakan (struktur tugas); dan kekuasaan dan
kewenangan posisi yang dimiliki (kuasa posisi). Berdasar ketiga variabel utama
tersebut, Fiedler menyimpulkan bahwa : para pemimpin yang berorientasi pada
tugas cenderung berprestasi terbaik dalam situasi kelompok yang sangat
menguntungkan maupun tidak menguntungkan sekalipun; para pemimpin yang
berorientasi pada hubungan cenderung berprestasi terbaik dalam situasi-situasi
yang cukup menguntungkan. Dari
kesimpulan model kepemimpinan tersebut, pendapat Fiedler cenderung kembali pada
konsep kontinum perilaku pemimpin. Namun perbedaannya di sini adalah bahwa
situasi yang cenderung menguntungkan dan yang cenderung tidak menguntungkan
dipisahkan dalam dua kontinum yang berbeda.
6.
Model Kepemimpinan Tiga Dimensi.
Model kepemimpinan ini dikembangkan oleh Redin.
Model tiga dimensi ini, pada dasarnya merupakan pengembangan dari model yang
dikembangkan oleh Universitas Ohio dan model Managerial Grid. Perbedaan utama
dari dua model ini adalah adanya penambahan satu dimensi pada model tiga
dimensi, yaitu dimensi efektivitas, sedangkan dua dimensi lainnya yaitu dimensi
perilaku hubungan dan dimensi perilaku tugas tetap sama. Intisari dari model
ini terletak pada pemikiran bahwa kepemimpinan dengan kombinasi perilaku
hubungan dan perilaku tugas dapat saja sama, namun hal tersebut tidak menjamin
memiliki efektivitas yang sama pula. Hal ini terjadi karena perbedaan kondisi
lingkungan yang terjadi dan dihadapi oleh sosok pemimpin dengan kombinasi
perilaku hubungan dan tugas yang sama tersebut memiliki perbedaan. Secara umum,
dimensi efektivitas lingkungan terdiri dari dua bagian, yaitu dimensi
lingkungan yang tidak efektif dan efektif. Masing-masing bagian dimensi
lingkungan ini memiliki skala yang sama 1 sampai dengan 4, dimana untuk
lingkungan tidak efektif skalanya bertanda negatif dan untuk lingkungan yang
efektif skalanya bertanda positif.
No comments:
Post a Comment