GOOD GOVERNANCE
(TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK)
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Terjadinya
krisis ekonomi di Indonesia antara lain disebabkan oleh tatacara
penyelenggaraan pemerintahan yang tidak dikelola dan diatur dengan baik.
Akibatnya timbul berbagai masalah seperti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN)
yang sulit diberantas, masalah penegakan hukum yang sulit berjalan, monopoli
dalam kegiatan ekonomi, serta kualitas pelayanan kepada masyarakat yang
memburuk. Masalah masalah tersebut juga telah menghambat proses pemulihan ekonomi
Indonesia, sehingga jumlah pengangguran semakin meningkat, jumlah penduduk
miskin bertambah, tingkat kesehatan menurun, dan bahkan telah menyebabkan
munculnya konflik-konflik di berbagai daerah yang dapat mengancam persatuan dan
kesatuan negara Republik Indonesia. Bahkan kondisi saat inipun menunjukkan
masih berlangsungnya praktek dan perilaku yang bertentangan dengan kaidah tata
pemerintahan yang baik, yang bisa menghambat terlaksananya agenda-agenda
reformasi. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah landasan bagi
pembuatan dan penerapan kebijakan negara yang demokratis dalam era globalisasi.
Fenomena
demokrasi ditandai dengan menguatnya kontrol masyarakat terhadap
penyelenggaraan pemerintahan, sementara fenomena globalisasi ditandai dengan
saling ketergantungan antarbangsa, terutama dalam pengelolaan sumber-sumber
ekonomi dan aktivitas dunia usaha (bisnis). Kedua perkembangan diatas, baik
demokratisasi maupun globalisasi, menuntut redefinisi peran pelaku-pelaku
penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah, yang sebelumnya memegang kuat kendali
pemerintahan, cepat atau lambat harus mengalami pergeseran peran dari posisi
yang seba mengatur dan mendikte ke posisi sebagai fasilitator. Dunia usaha dan pemilik
modal, yang sebelumnya berupaya mengurangi otoritas negara yang dinilai
cenderung menghambat perluasan aktivitas bisnis, harus mulai menyadari
pentingnya regulasi yang melindungi kepentingan publik. Sebaliknya, masyarakat
yang sebelumnya ditempatkan sebagai penerima manfaat (beneficiaries), harus mulai
menyadari kedudukannya sebagai pemilik kepentingan yang juga harus berfungsi
sebagai pelaku. Oleh karena itu, tata pemerintahan yang baik perlu segera
dilakukan agar segala permasalahan yang timbul dapat segera dipecahkan dan juga
proses pemulihan ekonomi dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Disadari, mewujudkan
tata pemerintahan yang baik membutuhkan waktu yang tidak singkat dan juga upaya
yang terus menerus. Disamping itu, perlu juga dibangun kesepakatan serta rasa
optimis yang tinggi dari seluruh komponen bangsa yang melibatkan tiga pilar
berbangsa dan bernegara, yaitu para aparatur negara, pihak swasta dan
masyarakat madani untuk menumbuhkembangkan rasa kebersamaan dalam rangka
mencapai tata pemerintahan yang baik.
1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan pada latar belakang diatas,
maka beberapa hal yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah :
a. Apa yang dimaksud dengan tata
pemerintahan yang baik (good governance) ?
b. Faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi sebuah tata pemerintahan yang
baik ?
II. TATA PEMERINTAHAN YANG
BAIK (GOOD GOVERNANCE)
Good
governance adalah “mantra” yang diucapkan oleh
banyak orang di Indonesia sejak 1993. Kata governance mewakili suatu
etika baru yang terdengar rasional, profesional, dan demokratis, tidak soal apakah
diucapkan di kantor Bank Dunia di Washington, AS atau di kantor LSM yang kumuh
di pinggiran Jakarta. Dengan kata itu pula wakil dari berbagai golongan profesi
seolah disatukan oleh “koor seruan” kepada pemerintah yang korup di negara
berkembang. “Good governance, bad men!” terkepung oleh seruan
dari berbagai pihak, kalangan pejabat pemerintah pun lantas juga fasih menyebut
konsep ini, meski dengan arti dan maksud yang berbeda.
Proses
pemahaman umum mengenai governance atau tata pemerintahan mulai mengemuka
di Indonesia sejak tahun 1990-an, dan mulai semakin bergulir pada tahun 1996,
seiring dengan interaksi pemerintah Indonesia dengan negara luar sebagai
negara-negara pemberi bantuan yang banyak menyoroti kondisi obyektif
perkembangan ekonomi dan politik Indonesia. Istilah ini seringkali
disangkutpautkan dengan kebijaksanaan pemberian bantuan dari negara donor,
dengan menjadikan masalah isu tata pemerintahan sebagai salah satu aspek yang
dipertimbangkan dalam pemberian bantuan, baik berupa pinjaman maupun hibah. Kata
governance sering dirancukan dengan government. Akibatnya, Negara
dan pemerintah menjadi korban utama dari seruan kolektif ini, bahwa mereka
adalah sasaran nomor satu untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Badan-badan
keuangan internasional mengambil prioritas untuk memperbaiki birokrasi
pemerintahan di Dunia Ketiga dalam skema good governance mereka.
Aktivitis dan kaum oposan, dengan bersemangat, ikut juga dalam aktivitas ini
dengan menambahkan prinsip-prinsip kebebasan politik sebagai bagian yang tak
terelakkan dari usaha perbaikan institusi negara. Good governance bahkan
berhasil mendekatkan hubungan antara badan-badan keuangan multilateral dengan
para aktivis politik, yang sebelumnya bersikap sinis pada hubungan antara
pemerintah Negara berkembang dengan badan-badan ini. Maka, jadilah suatu
sintesa antara tujuan ekonomi dengan politik. Tetapi, sebagaimana layaknya
suatu mantra, para pengucap tidak dapat menerangkan sebab akibat dari suatu
kejadian, Mereka hanya mengetahui sebagian, yaitu bahwa sesuatu yang invisible
hand menyukai mantra yang mereka ucapkan. Pada kasus good governance,
para pengucap hanya mengetahui sedikit hal yaitu bahwa sesuatu yang tidak
terbuka dan tidak terkontrol akan mengundang penyalahgunaan, bahwa program
ekonomi tidak akan berhasil tanpa legitimasi, ketertiban sosial, dan efisiensi institusional.
Satu faktor yang sering dilupakan adalah, bahwa kekuatan konsep ini justru terletak
pada keaktifan sektor negara, masyarakat dan pasar untuk berinteraksi. Karena
itu, good governance, sebagai suatu proyek sosial, harus melihat kondisi
sektor-sektor di luar negara.
2.1. Arti Good governance
Governance,
yang diterjemahkan menjadi tata pemerintahan, adalah penggunaan wewenang
ekonomi, politik dan administrasi guna mengelola urusan-urusan Negara pada
semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh mekanisme, proses dan
lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok masyarakat mengutarakan
kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan
diantara mereka. Definisi lain menyebutkan governance adalah mekanisme
pengelolaan sumber daya ekonomi dan sosial yang melibatkan pengaruh sector Negara
dan sector non-pemerintah dalam suatu usaha kolektif. Definisi ini mengasumsikan
banyak aktor yang terlibat dimana tidak ada yang sangat dominan yang menentukan
gerak aktor lain. Pesan pertama dari terminology governance membantah
pemahaman formal tentang bekerjanya institusiinstitusi negara. Governance mengakui
bahwa didalam masyarakat terdapat banyak pusat pengambilan keputusan yang
bekerja pada tingkat yang berbeda.
Meskipun
mengakui ada banyak aktor yang terlibat dalam proses sosial, governance bukanlah
sesuatu yang terjadi secara chaotic, random atau tidak terduga. Ada
aturan-aturan main yang diikuti oleh berbagai aktor yang berbeda. Salah satu
aturan main yang penting adalah adanya wewenang yang dijalankan oleh negara.
Tetapi harus diingat, dalam konsep governance wewenang diasumsikan tidak
diterapkan secara sepihak, melainkan melalui semacam konsensus dari
pelaku-pelaku yang berbeda. Oleh sebab itu, karena melibatkan banyak pihak dan
tidak bekerja berdasarkan dominasi pemerintah, maka pelaku-pelaku diluar
pemerintah harus memiliki kompetensi untuk ikut membentuk, mengontrol, dan mematuhi
wewenang yang dibentuk secara kolektif. Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam
konteks pembangunan, definisi governance adalah “mekanisme pengelolaan
sumber daya ekonomi dan sosial untuk tujuan pembangunan”, sehingga good
governance, dengan demikian, “adalah mekanisme pengelolaan sumber daya
ekonomi dan social yang substansial dan penerapannya untuk menunjang
pembangunan yang stabil dengan syarat utama efisien) dan (relatif) merata.” Menurut
dokumen United Nations Development Program (UNDP), tata pemerintahan adalah
“penggunaan wewenang ekonomi politik dan administrasi guna mengelola
urusan-urusan negra pada semua tingkat. Tata pemerintahan mencakup seluruh
mekanisme, proses dan lembaga-lembaga dimana warga dan kelompok-kelompok
masyarakat mengutarakan kepentingan mereka, menggunakan hak hukum, memenuhi
kewajiban dan menjembatani perbedaan-perbedaan diantara mereka. Jelas bahwa good
governance adalah masalah perimbangan antara negara, pasar dan masyarakat.
Memang sampai saat ini, sejumlah karakteristik kebaikan dari suatu governance
lebih banyak berkaitan dengan kinerja pemerintah. Pemerintah berkewajiban
melakukan investasi untuk mempromosikan tujuan ekonomi jangka panjang seperti
pendidikan kesehatan dan infrastuktur. Tetapi untuk mengimbangi negara, suatu masyarakat
warga yang kompeten dibutuhkan melalui diterapkannya system demokrasi, rule of
law, hak asasi manusia, dan dihargainya pluralisme. Good governance sangat
terkait dengan dua hal yaitu (1) good governance tidak dapat dibatasi
hanya pada tujuan ekonomi dan (2) tujuan ekonomi pun tidak dapat dicapai tanpa
prasyarat politik tertentu.
2.2. Membangun Good
governance
Membangun
good governance adalah mengubah cara kerja state, membuat pemerintah
accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar Negara cakap untuk ikut
berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara umum. Dalam konteks ini,
tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapat diwujudkan dengan baik hanya
dengan mengubah karakteristik dan cara kerja institusi negara dan pemerintah.
Harus kita ingat, untuk mengakomodasi keragaman, good governance juga
harus menjangkau berbagai tingkat wilayah politik. Karena itu, membangun good
governance adalah proyek sosial yang besar. Agar realistis, usaha tersebut
harus dilakukan secara bertahap. Untuk Indonesia, fleksibilitas dalam memahami konsep
ini diperlukan agar dapat menangani realitas yang ada.
III. PRINSIP-PRINSIP TATA
PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD
GOVERNANCE)
UNDP
merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi politik,
kerjasama dengan institusi masyarakat sipil, kebebasan berasosiasi dan
berpartisipasi, akuntabilitas birokratis dan keuangan (financial), manajemen
sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan ekspresi, sistem yudisial
yang adil dan dapat dipercaya. Sedangkan World Bank mengungkapkan sejumlah
karakteristik good governance adalah masyarakat sispil yang kuat
dan partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi,
eksekutif yang bertanggung jawab, birokrasi yang profesional dan aturan hukum.
Masyarakat
Transparansi Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti : transparansi,
akuntabilitas, kewajaran dan kesetaraan, serta kesinambungan. Asian Development
Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa good governance dilandasi
oleh 4 pilar yaitu (1) accountability, (2) transparency, (3) predictability,
dan (4) participation. Jelas bahwa
jumlah komponen atau pun prinsip yang melandasi tata pemerintahan yang baik
sangat bervariasi dari satu institusi ke institusi lain, dari satu pakar ke
pakar lainnya. Namun paling tidak ada sejumlah prinsip yang dianggap sebagai
prinsip-prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu (1)
Akuntabilitas, (2) Transparansi, dan (3) Partisipasi Masyarakat.
3. 1. Prinsip Akuntabilitas
Ketiga
prinsip tersebut diatas tidaklah dapat berjalan sendiri-sendiri, ada hubungan
yang sangat erat dan saling mempengaruhi, masing-masing adalah instrumen yang
diperlukan untuk mencapai prinsip yang lainnya, dan ketiganya adalah instrumen
yang diperlukan untuk mencapai manajemen publik yang baik. Walaupun begitu,
akuntabilitas menjadi kunci dari semua prinsip ini. Prinsip ini menuntut dua
hal yaitu (1) kemampuan menjawab (answerability), dan (2) konsekuensi
(consequences). Komponen pertama (istilah yang bermula dari responsibilitas)
adalah berhubungan dengan tuntutan bagi para aparat untuk menjawab secara
periodik setiap pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan bagaimana mereka menggunakan
wewenang mereka, kemana sumber daya telah dipergunakan, dan apa yang telah
dicapai dengan menggunakan sumber daya tersebut.
Prof
Miriam Budiardjo mendefinisikan akuntabilitas sebagai “pertanggungjawaban pihak
yang diberi mandat untuk memerintah kepada mereka yang memberi mandat itu.”
Akuntabilitas bermakna pertanggungjawaban dengan menciptakan pengawasan melalui
distribusi kekuasaan pada berbagai lembaga pemerintah sehingga mengurangi penumpukkan
kekuasaan sekaligus menciptakan kondisi saling mengawasi (checks and balances
sistem). Lembaga pemerintahan yang dimaksud adalah eksekutif (presiden, wakil
presiden, dan kabinetnya), yudikatif (MA dan sistem peradilan) serta legislatif
(MPR dan DPR). Peranan pers yang semakin penting dalam fungsi pengawasan ini
menempatkannya sebagai pilar keempat
Guy
Peter menyebutkan adanya 3 tipe akuntabilitas yaitu : (1) akuntabilitas keuangan,
(2) akuntabilitas administratif, dan (3) akuntabilitas kebijakan publik. Paparan
ini tidak bermaksud untuk membahas tentang akuntabilitas keuangan, sehingga
berbagai ukuran dan indikator yang digunakan berhubungan dengan akuntabilitas
dalam bidang pelayanan publik maupun administrasi publik. Akuntabilitas publik
adalah prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan
dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang
terkena dampak penerapan kebijakan.
Pengambilan
keputusan didalam organisasi-organisasi publik melibatkan banyak pihak. Oleh
sebab itu wajar apabila rumusan kebijakan merupakan hasil kesepakatan antara
warga pemilih (constituency) para pemimpin politik, teknokrat, birokrat atau
administrator, serta para pelaksana di lapangan. Sedangkan dalam bidang
politik, yang juga berhubungan dengan masyarakat secara umum, akuntabilitas
didefinisikan sebagai mekanisme penggantian pejabat atau penguasa, tidak ada
usaha untuk membangun monoloyalitas secara sistematis, serta ada definisi dan
penanganan yang jelas terhadap pelanggaran kekuasaan dibawah rule of law.
Sedangkan public accountability didefinisikan sebagai adanya pembatasan tugas
yang jelas dan efisien.
Secara
garis besar dapat disimpulkan bahwa akuntabilitas berhubungan dengan kewajiban
dari institusi pemerintahan maupun para aparat yang bekerja di dalamnya untuk membuat
kebijakan maupun melakukan aksi yang sesuai dengan nilai yang berlaku maupun
kebutuhan masyarakat. `Akuntabilitas publik menuntut adanya pembatasan tugas
yang jelas dan efisien dari para aparat birokrasi. Karena pemerintah
bertanggung gugat baik dari segi penggunaan keuangan maupun sumber daya publik
dan juga akan hasil, akuntabilitas internal harus dilengkapi dengan
akuntabilitas eksternal , melalui umpan balik dari para pemakai jasa pelayanan
maupun dari masyarakat. Prinsip akuntabilitas publik adalah suatu ukuran yang
menunjukkan seberapa besar tingkat kesesuaian penyelenggaraan pelayanan dengan
ukuran nilainilai atau norma-norma eksternal yang dimiliki oleh para
stakeholders yang berkepentingan dengan pelayanan tersebut. Sehingga,
berdasarkan tahapan sebuah program, akuntabilitas dari setiap tahapan adalah :
1. Pada tahap proses pembuatan sebuah
keputusan, beberapa indicator untuk
menjamin akuntabilitas publik
adalah :
·
pembuatan sebuah keputusan
harus dibuat secara tertulis dan tersedia bagi setiap warga yang membutuhkan
·
pembuatan keputusan sudah
memenuhi standar etika dan nilai-nilai yang berlaku, artinya sesuai dengan
prinsip-prinsip administrasi yang benar maupun nilai-nilai yang berlaku di
stakeholders
·
adanya kejelasan dari
sasaran kebijakan yang diambil, dan sudah sesuai dengan visi dan misi
organisasi, serta standar yang berlaku
·
adanya mekanisme untuk
menjamin bahwa standar telah terpenuhi, dengan konsekuensi mekanisme
pertanggungjawaban jika standar tersebut tidak terpenuhi
·
konsistensi maupun kelayakan
dari target operasional yang telah ditetapkan maupun prioritas dalam mencapai
target tersebut.
2. Pada tahap sosialisasi kebijakan,
beberapa indikator untuk menjamin
akuntabilitas publik adalah :
·
penyebarluasan informasi
mengenai suatu keputusan, melalui media massa, media nirmassa, maupun media
komunikasi personal
·
akurasi dan kelengkapan
informasi yang berhubungan dengan caracara mencapai sasaran suatu program
·
akses publik pada informasi
atas suatu keputusan setelah keputusan dibuat dan mekanisme pengaduan
masyarakat
·
ketersediaan sistem
informasi manajemen dan monitoring hasil yang telah dicapai oleh pemerintah.
3.2. Prinsip Transparansi
Transparansi
adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk
memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang
kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai.
Transparansi yakni adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan. Sedangkan yang
dimaksud dengan informasi adalah informasi mengenai setiap aspek kebijakan
pemerintah yang dapat dijangkau oleh publik. Keterbukaan informasi diharapkan
akan menghasilkan persaingan politik yang sehat, toleran, dan kebijakan dibuat
berdasarkan pada preferensi publik.
Prinsip
ini memiliki 2 aspek, yaitu (1) komunikasi publik oleh pemerintah, dan (2) hak
masyarakat terhadap akses informasi.12 Keduanya akan sangat sulit dilakukan
jika pemerintah tidak menangani dengan baik kinerjanya. Manajemen kinerja yang
baik adalah titik awal dari transparansi. Komunikasi publik menuntut usaha
afirmatif dari pemerintah untuk membuka dan mendiseminasi informasi maupun
aktivitasnya yang relevan. Transparansi harus seimbang, juga, dengan kebutuhan
akan kerahasiaan lembaga maupun informasi-informasi yang mempengaruhi hak
privasi individu. Karena pemerintahan menghasilkan data dalam jumlah besar, maka
dibutuhkan petugas informasi professional, bukan untuk membuat dalih atas
keputusan pemerintah, tetapi untuk menyebarluaskan keputusankeputusan yang
penting kepada masyarakat serta menjelaskan alasan dari setiap kebijakan
tersebut.
Peran
media juga sangat penting bagi transparansi pemerintah, baik sebagai sebuah kesempatan
untuk berkomunikasi pada publik maupun menjelaskan berbagai informasi yang
relevan, juga sebagai “watchdog” atas berbagai aksi pemerintah dan perilaku menyimpang
dari para aparat birokrasi. Jelas, media tidak akan dapat melakukan tugas ini
tanpa adanya kebebasan pers, bebas dari intervensi pemerintah maupun pengaruh
kepentingan bisnis. Keterbukaan membawa konsekuensi adanya kontrol yang
berlebih-lebihan dari masyarakat dan bahkan oleh media massa. Karena itu,
kewajiban akan keterbukaan harus diimbangi dengan nilai pembatasan, yang
mencakup kriteria yang jelas dari para aparat publik tentang jenis informasi
apa saja yang mereka berikan dan pada siapa informasi tersebut diberikan. Prinsip
transparasi paling tidak dapat diukur melalui sejumlah indikator seperti :
·
mekanisme yang menjamin
sistem keterbukaan dan standarisasi dari semua proses-proses pelayanan public
·
mekanisme yang memfasilitasi
pertanyaan-pertanyaan publik tentang berbagai kebijakan dan pelayanan publik,
maupun proses-proses didalam sektor publik.
·
mekanisme yang memfasilitasi
pelaporan maupun penyebaran informasi maupun penyimpangan tindakan aparat
publik didalam kegiatan melayani.
·
Keterbukaan pemerintah atas
berbagai aspek pelayanan publik, pada akhirnya akan membuat pemerintah menjadi
bertanggung gugat kepada semua stakeholders yang berkepentingan dengan proses
maupun kegiatan dalam sector publik.
3.3. Prinsip Partisipatif
Dalam
proses pembangunan di segala sektor, aparat negara acapkali mengambil
kebijakan-kebijakan yang terwujud dalam pelbagai keputusan yang mengikat
masyarakat umum dengan tujuan demi tercapainya tingkat kesejahteraan yang lebih
tinggi. Keputusan-keputusan semacam itu tidak jarang dapat membuka kemungkinan
dilanggarnya hak-hak asasi warga negara akibat adanya pendirian sementara
pejabat yang tidak rasional atau adanya program-program yang tidak
mempertimbangkan pendapat rakyat kecil. Bukan rahasia lagi bahwa di negara kita
ini pertimbangan-pertimbangan ekonomis, stabilitas, dan security sering
mengalahkan pertimbangan-pertimbangan mengenai aspirasi masyarakat dan hak
asasi mereka sebagai warga negara. Pembangunan politis dalam banyak hal telah disubordinasi
oleh pembangunan ekonomis maupun kebijakan-kebijakan pragmatis pejabat
tertentu.
Partisipasi
dibutuhkan dalam memperkuat demokrasi, meningkatkan kualitas dan efektivitas
layanan publik, dalam mewujudkan kerangka yang cocok bagi partisipasi, perlu
dipertimbangkan beberapa aspek, yaitu :
·
partisipasi melalui
institusi konstitusional (referendum, voting) dan jaringan civil society
(inisiatif asosiasi)
·
partisipasi individu dalam
proses pengambilan keputusan, civil society sebagai service provider
·
local kultur pemerintah (misalnya
Neighborhood Service Department di USA, atau Better Management Transparent
Budget di New Zealand)
·
faktor-faktor lainnya, seperti transparansi, substansi
proses terbuka dan konsentrasi pada kompetisi.
Partisipasi
adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan
keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam
pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung atau secara tidak
langsung.
Transparansi
bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan tepat waktu tentang
kebijakan publik, dan proses pembentukannya. Dengan ketersediaan informasi
seperti ini masyarakat dapat ikut sekaligus mengawasi sehingga kebijakan publik
yang muncul bisa memberikan hasil yang optimal bagi masyarakat serta mencegah
terjadinya kecurangan dan manipulasi yang hanya akan menguntungkan salah satu
kelompok masyarakat saja secara tidak proporsional.
Pendapat
yang mengatakan bahwa partisipasi dapat dilihat melalui keterlibatan
anggota-anggota masyarakat di dalam Pemilu saja, jelas merupakan pendapat yang
kurang lengkap. Masih banyak pola perilaku informal yang dapat dijadikan
patokan dalam menilai tingkat partisipasi dalam suatu masyarakat. Jika orang
bersedia menilai proses politik secara netral maka bentuk-bentuk perilaku massa
berupa protes, aksi pamflet, ataupun pemogokan, sebenarnya juga termasuk
partisipasi. Tindakan protes atau mogok, boleh jadi merupakan luapan dari
tuntutan massa akibat saluran-saluran aspirasi yang sebelumnya ada telah
berkembang. Protes yang disertai aksi-aksi kekerasan terkadang semata-mata
disebabkan oleh keputusasaan, kegusaran, dan terpendamnya konflik internal Suatu
kebijakan mungkin pada dasarnya bertujuan mulia karena jelas-jelas akan
bermanfaat untuk kepentingan umum. Namun seiring dilaksanakannya kebijakan
tersebut dalam sistem birokrasi yang berjenjang seringkali terjadi pergeseran
dan penyimpangan arah kebijakan tadi. Bagaimanapun jika para birokrat tidak
ingin kehilangan wibawanya dalam melaksanakan kebijakan-kebijakan publik, para
birokrat harus senantiasa memperhatikan aspirasi-aspirasi masyarakat dan
mendukung partisipasi seluruh unsur kemasyarakatan secara wajar.
Setidak-tidaknya ada 2 alasan mengapa sistem partisipatoris dibutuhkan dalam
negara demokratis. Pertama, ialah bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah yang
paling paham mengenai kebutuhannya. Dan kedua, bermula dari kenyataan bahwa pemerintahan
yang modern cenderung semakin luas dan kompleks, birokrasi tumbuh membengkak di
luar kendali. Oleh sebab itu, untuk menghindari alienasi warga negara, para
warga negara itu harus dirangsang dan dibantu dalam membina hubungan dengan
aparat pemerintah. Dalam rangka penguatan partisipasi publik, beberapa hal yang
dapat dilakukan oleh pemerintah adalah :
·
mengeluarkan informasi yang
dapat diakses oleh public
·
menyelenggarakan proses
konsultasi untuk menggali dan mengumpulkan masukan-masukan dari stakeholders
termasuk aktivitas warga Negara dalam kegiatan publik,
·
mendelegasikan otoritas
tertentu kepada pengguna jasa layanan public seperti proses perencanaan dan
penyediaan panduan bagi kegiatan masyarakat dan layanan publik.
·
Partisipasi masyarakat
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan itu sendiri, sehingga
nantinya seluruh lapisan masyarakat akan memperoleh hak dan kekuatan yang sama
untuk menuntut atau mendapatkan bagian yang adil dari manfaat pembangunan.
No comments:
Post a Comment