REFORMASI PENDIDIKAN
1. Pendahuluan
Kebiasaan pemerintah kita dalam melakukan justifikasi kepentingan
program-progran dibidang pendidikan adalah berdasar pada pemikiran jangka
menengah yang mengaitkannya dengan
legalitas kemapanan yang bersifat normative. Akibatnya tujuan pendidikan selalu
dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat utopis dan kurang
menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai
dalam jangka waktu tertentu.
Problema-problema
pendidikan kita semakin kompleks dan semakin sarat dengan tantangan. Kebijakan dan
program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, nampak tidak
memberi jawaban solutif terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan
yang berkembang. Kebijakan dan
perubahan-perubahan pendidikan kita, kurang memliki “prioritas” yang ingin
dicapai. Katakan saja, persoalan dana pendidikan, persoalan manajemen
pendidikan dengan konsep manajemen berbasisi sekolah [MBS] dan akreditasi,
kebijakan perubahan kurikulum dari KBK menjadi KTSP, persoalan kompetensi dan
sertifikasi guru dan dosen, ujian nasional yang menuai protes dari siswa, yang
berdampak penyelesaian sekolah di Paket C. Hal yang sangat menyedihkan dalam
kebijakan pendidikan di negara yang kita cintai ini. Indikator ini menunjukan
kurang terarahnya kebijakan-kebijakan pendidikan. Beberapa “pakar” dan
“pemerhati” pendidikan, mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia selalu
dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang sangat “utopis” dan kurang
menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan prioritas persoalan pendidikan
yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu.
Dari
persoalan-persoalan di atas, paling tidak ada dua hal pokok yang menyebabkan
program-program pendidikan dirasakan
“tumpul” dan “tidak membumi” untuk menjawab persoalan pendidikan di Indonesia :
Pertama, tidak adanya "national assessment" untuk
menggambarkan kondisi dan permasalahan pendidikan yang didasarkan pada suatu
ukuran kemajuan tertentu [benchmark] secara terbuka [accountable],
sehingga publik dengan mudah mengikuti dan “mengevalusi” kemajuan pendidikan yang ada. Kedua,
program-program pendidikan yang dilaksanakan tidak diturunkan dari
tujuan-tujuan yang mengacu pada hasil-hasil yang memiliki kriteria pencapaian
yang jelas dan dapat terukur realisasinya.
Akibatnya,
upaya-upaya perbaikan pendidikan yang dilaksanakan selama ini, seakan-akan
berada di antara “mitos” dan “realitas”. Di satu sisi, perbaikan pendidikan
dinyatakan sebagai sub-sistem pembangunan nasional [sebagai entitas sistem
secara keseluruhan], tetapi di sisi lain program-programnya tidak memiliki
konsep yang cukup jelas untuk menjawab paradigma pembangunan yang berorientasi
pada pola dan permasalahan kehidupan global yang menuntut kontribusi pendidikan
yang dinamis dan bervariasi. Untuk itu,
arah kebijakan pendidikan kedepan, seharusnya ditujukan untuk merubah “mitos” menjadi
“realitas” perubahan pendidikan di Indonesia.
Gambaran di atas,
menunjukkan bahwa dunia pendidikan di Indonesia memang begitu dilematis.
Artinya, di satu sisi, tuntutan kualitas pendidikan perlu dikatrol
setinggi-tingginya untuk mengejar ketertinggalan begitu jauh dengan
negara-negara lain. Sementara disi lain, dana operasional yang tersedia untuk
bidang pendidikan begitu terbatas. Perlu
diakui bahwa pemerintah, sebenarnya telah mengalokasi sejumlah jenis bantuan
untuk dana operasional pendidikan [sekolah]. Tetapi bantuan tersebut hanya
cukup untuk menutup biaya minimal bagi kegiatan-kegiatan pendidikan. Sementara
kegiatan yang sifatnya penunjang atau pengembangan, dirasakan belum optimal dan
hal ini berakibat pada upaya peningkatan mutu pendidikan itu sendiri.
2. Kebijakan Pendidikan di Indonesia
Proses pendidikan merupakan upaya sadar manusia yang tidak pernah
ada hentinya. Sebab, jika manusia berhenti melakukan pendidikan, sulit
dibayangkan apa yang akan terjadi pada sistem peradaban dan budaya manusia. Dengan ilustrasi ini, maka baik pemerintah maupun masyarakat berupaya
untuk melakukan pendidikan dengan standar kualitas yang diinginkan untuk
memberdayakan manusia. “Sistem pendidikan yang dibangun harus disesuaikan
dengan tuntutan zamannya, agar pendidikan dapat menghasilkan outcome yang
relevan dengan tuntutan zaman.
Indonesia, telah memiliki sebuah sistem pendidikan dan telah
dikokohkan dengan UU No. 20 tahun 2003.
Pembangunan pendidikan di Indonesia sekurang-kurangnya menggunakan empat
strategi dasar, yakni; partama, pemerataan kesempatan untuk memperoleh
pendidikan, kedua, relevansi pendidikan, ketiga, peningkatan
kualitas pendidikan, dan keempat, efesiensi pendidikan. Sacara umum strategi itu dapat dibagi menjadi
dua dimensi yakni peningkatan mutu dan pemerataan pendidikan. Pembangunan
peningkatan mutu diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas dan
produktivitas pendidikan. Sedangkan kebijkan pemerataan pendidikan diharapkan
dapat memberikan kesempatan yang sama dalam memperoleh pendidikan bagi semua
usia sekolah. Dari sini, pendidikan dipandang sebagai katalisator yang dapat menunjang faktor-faktor lain. Artinya, pendidikan sebagai upaya pengembangan sumberdaya manusia
[SDM] menjadi semakin penting dalam pembangunan suatu bangsa.
Untuk menjamin
kesempatan memperoleh pendidikan yang
merata disemua kelompok strata dan wilayah tanah air sesuai dengan kebutuhan
dan tingkat perkembangannya perlu strategi dan kebijakan pendidikan, yaitu :
[a] menyelenggarakan pendidikan
yang relevan dan bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia
dalam menghadapi tantangan global,
[b] menyelenggarakan pendidikan yang dapat dipertanggungjawabkan [accountasle]
kepada masyarakat sebagai pemilik sumberdaya dan dana serta pengguna hasil
pendidikan,
[c] menyelenggarakan
proses pendidikan yang demokratis secara profesional sehingga tidak
mengorbankan mutu pendidikan,
[d] meningkatkan efisiensi internal dan
eksternal pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan,
[e] memberi
peluang yang luas dan meningkatkan kemampuan masyarakat, sehingga terjadi
diversifikasi program pendidikan sesuai dengan sifat multikultural bangsa
Indonesia,
[f] secara bertahap mengurangi peran pemerintah
menuju ke peran fasilitator dalam implementasi sistem pendidikan,
[g] Merampingkan birokrasi pendidikan sehingga lebih lentur [fleksibel]
untuk melakukan penyesuaian terhadap dinamika perkembangan masyarakat dalam
lingkungan global.
Empat
strategi dasar kebijakan pendidikan yang dikemukakan di atas cukup ideal.
Tetapi Muchtar Bukhori, seorang pakar pendidikan Indonesia, menilai bahwa kebijakan pendidikan kita tak
pernah jelas. Pendidikan kita hanya melanjutkan pendidikan yang elite dengan
kurikulum yang elitis yang hanya dapat ditangkap oleh 30 % anak didik”,
sedangkan 70% lainnya tidak bisa mengikuti. Dengan
demikian, tuntutan peningkatan kualitas pendidikan, relevansi pendidikan,
efesiensi pendidikan, dan pemerataan
kesempatan untuk memperoleh pendidikan, belum terjawab dalam kebijakan
pendidikan kita. Kondisi ini semakin mempersulit mewujudkan pendidikan
yang egalitarian dan SDM yang semakin merata di berbagai daerah.
Proses menuju perubahan sistem pendidikan nasional banyak menuai
kendala serius. Apalagi ketika membicarakan konteks pendidikan nasional sebagai
bagian dari pergumulan ideologi dan politik penguasa. Problem-problem yang dihadapi seringkali
berkaitan dengan kebijakan-kebijakan [policies] yang sangat
strategis. Maka, dalam konteks kebijakan
pendidikan nasional, menurut Suyanto, banyak pakar dan praktisi pendidikan
mengkritisi pemerintah, dianggap tidak memiliki komitmen yang kuat untuk membenahi
sistem pendidikan nasional. Artinya,
kebijakan-kebijakan pendidikan kita, kurang menggambarkan rumusan-rumusan
permasalahan dan “prioritas” yang ingin dicapai dalam jangka waktu tertentu.
Hal ini, terutama berkaitan dengan
anggaran pendidikan nasional yang semestinya sebesar minimal 20%, daimbil dari
APBN dan APBD [pasal 31 ayat 4 UUD Amandemen keempat]. Tetapi, sampai sekarang kebijakan strategi
belum dapat diwujudkan sepenuhnya, pendidikan nasional masih menyisihkan
kegetiran-kegetiran bagi rakyat kecil yang tidak mampu mengecap pendidikan di
sekolah.
Pasca Reformasi tahun 1998, memang ada perubahan fundamental dalam
sistem pendidikan nasional. Perubahan
sistem pendidikan tersebut mengikuti perubahan sistem pemerintah yang sentralistik
menuju desentralistik atau yang lebih dikenal dengan otonomi pendidikan
dan kebijakan otonomi nasional itu mempengaruhi sistem pendidikan kita. Sistem
pendidikan kita pun menyesuaikan dengan model otonomi. Kebijakan otonomi di
bidang pendidikan [otonomi pendidikan] kemudian banyak membawa harapan akan
perbaikan sistem pendidikan kita. Kebijakan tersebut masih sangat baru, maka
sudah barang tertentu banyak kendala yang masih belum terselesaikan.
Otonomi yang didasarkan pada
UU No. 22 tahun 1999, yaitu memutuskan suatu keputusan dan atau
kebijakan secara mandiri. Otonomi sangat erat kaitanya dengan desentralisasi.
Dengan dasar ini, maka otonomi yang ideal dapat tumbuh dalam suasana bebas,
demokratis, rasional dan sudah barang tentu dalam kalangan insan-insan yang
“berkualitas”. Oleh karena itu, rekonstruksi dan reformasi dalam Sistem
Pendidikan Nasional dan Regional, yang tertuang dalam GBHN 1999, juga telah
dirumuskan misi pendidikan nasional kita,
yaitu mewujudkan sistem dan iklim pendidikan nasional yang demokratis
dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, inovatif, berwawasan
kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin, bertanggung jawab, berketerampilan
serta menguasai iptek dalam rangka mengembangkan kualitas manusia Indonesia.
Untuk mewujudkan misi tersebut mesti diterapkan arah kebijakan
sebagai berikut, yaitu :
[1] perluasan dan
pemerataan pendidikan.
[2] meningkatkan kemampuan akademik dan profesionalitas serta
kesejahteraan tenaga kependidikan,
[3] melakukan pembaharuan
dalam sistem pendidikan nasional termasuk dalam bidang kurikulum,
[4] memberdayakan lembaga
pendidikan formal dan PLS secara luas,
[5] pembaharuan
pendidikan nasional mesti berdasarkan prinsip desentralisasi, otonomi keilmuan,
dan manajemen,
[6] meningkatkan kualitas
lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh berbagai pihak secara efektif dan
efisien terutama dalam pengembangan iptek, seni dan budaya sehingga
membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan selalu reaktif dalam
seluruh komponen bangsa.
Beberapa kalangan pakar dan praktisi pendidikan, mencermati
kebijakan otonomi pendidikan sering dipahami sebagai indikasi kearah
“liberalisasi” atau lebih parah lagi dikatakan sebagai indikasi kearah “komersialisasi
pendidikan”. Hal ini, semakin dikuatkan dengan terbentuknya Badan Hukum
Pendidikan [BHP] yang oleh beberapa pengamat dianggap sebagai pengejawantahan
dari sistem yang mengarah pada “liberalisasi pendidikan” .
Persoalan sekarang, apakah sistem pendidikan yang ada saat ini
telah efektif untuk mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang modern,
memiliki kemampuan daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain? Jawabannya
tentu belum. Berbicara kemampuan, kita sebagai bangsa nampaknya belum
sepenuhnya siap benar menghadapi tantangan persaingan. Sementara, disatu
sisi, “bidang pendidikan kita menjadi
tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia [SDM] Indonesia.
Tetapi disisi lain, sistem pendidikan kita masih melahirkan mismatch
terhadap tuntutan dunia kerja, baik secara nasional maupun regional.
Berbagai problem fundamental yang dihadapi pendidikan nasional
saat ini, yang tercermin dalam “realitas” pendidikan yang kita jalani. Seperti
persoalan anggaran pendidikan, kurikulum, strategi pembelajaran, dan persoalan output
pendidikan kita yang masih sangat rendah kualitasnya. Problem-problem pendidikan yang bersifat
metodik dan strategik yang membuahkan output yang sangat memprihatinkan.
Output, pendidikan kita memiliki mental yang selalu tergantung kepada
orang lain. Output pendidikan kita tidak memiliki mental yang bersifat
mandiri, karena memang tidak kritis dan kreatif. Akhirnya, output yang pernah
mengenyam pendidikan, malah menjadi “pengangguran terselubung”. Ini artinya,
setiap tahunnya, pendidikan nasional kita memproduksi pengangguran terselubung.
Mereka itu, adalah korban dari ketidakberesan sistem pendidikan kita yang masih
sedang merangka berbenah. Mungkin saja, kita sebagai insan yang berpendidikan,
tentu saja terus atau banyakan berharap akan datangnya perubahan “fundamental”
terhadap sistem pendidikan di Indonesia.
3. Pengalaman Pendidikan Pasca Reformasi
Pada
saat reformasi digulirkan, masyarakat Indonesia ingin mewujudkan perubahan
dalam semua aspek kehidupannya, termasuk sektor pendidikan. Sebab, sektor
pendidikan memiliki peran yang strategis dan fungsional dalam upaya mewujudkan
perubahan tersebut. Tetapi pendidikan di Indonesia selama ini diatur dengan
sistem pendidikan nasional yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan politik
bangsa. Akibatnya, menghasilkan manusia-manusia Indonesia tertekan, tidak
kritis, bertindak dan berpikir dalam acuan suatu struktur kekuasaan yang hanya
mengabdi kepada kepentingan kelompok kecil rakyat Indonesia.
Kebijakan
pendidikan kita, berpikir dalam acuan keseragaman. Dapat dikatakan bahwa selama ini kebijakan pendidikan semuanya terpusat.
Kurikulum ditetapkan di pusat, tenaga pendidikan ditentukan dari pusat, sarana
dan prasarana pendidikan diberikan dari pusat, dana pendidikan ditentukan dari
pusat, semuanya diseragamkan dari pusat.
Maka yang terjadi adalah masyarakat jadi pasif tidak tahu dan tidak
dapat berkecimpung di dalam kehidupan pendidikan anak-anak mereka. Padahal,
masyarakat memiliki harapan dan dampak terhadap upaya
pendidikan di Indonesia , walaupun mereka mempunyai perbedaan dalam status
sosial, peranan dan tanggungjawab. Hal yang sangat ironis lagi, adalah menempatkan
pendidikan sebagai kerja “non akademik”, pendidikan diselenggarakan
dengan “otorita” kekuasaan “administratif-birokratis”, belum menempatkan
pendidikan sebagai kerja “akademik” dan penyelenggaraan pendidikan
dibawah “otorita keilmuan”.
Pendidikan
nasional juga diselenggarakan secara diskriminasi, jauh dari apa yang
diidealkan, yaitu setiap warga negara memperoleh kesempatan yang sama untuk
belajar dan menyelenggarakan usaha-usaha pendidikan. Dalam kenyataannya
pelaksanaan pendidikan kita tidak demokratis, masih terdapat sekolah-sekolah
atau perguruan negeri yang dikelola dan dibiayai pemerintah, dan
sekolah-sekolah atau perguruan-perguruan swasta yang dikelola oleh masyarakat
dan dibiayai oleh masyarakat sendiri.
Perlakuan diskriminatif tersebut, secara psikologis terkesan bahwa
“pendidikan” adalah milik pemerintah, dan bukan milik masyarakat. Maka “semangat kebatinan” atau “jiwa”
pendidikan telah lepas dari “jiwa masyarakat”. Banyak lembaga pendidikan formal
– dari dasar sampai perguruan tinggi – yang menjadi komunitas atau kelompok
tersendiri yang lepas dari masyarakatnya; mereka hanya mementingkan status
formal, ijazah dan gelar, bahkan dewasa ini banyak terjadi perdagangan gelar,
jenjang dan ijazah.
Tampaknya,
kebijakan pendidikan nasional kita lebih berorientasi pada kepentingan
pemerintah dan bukan kepentingan
pembelajar, pasar, dan pengguna jasa pendidikan atau masyarakat. Hal ini
didasarkan pada dalih bahwa strategi pendidikan nasional adalah untuk membekali
generasi muda agar mampu membawa bangsa dan negara ini cepat sejajar dengan
bangsa dan negara lain yang lebih maju. Namun, dalam implikasi perkembangannya
tidak sesuai dengan apa yang dicita-citakan.
Pendidikan yang seyogyanya dapat membebaskan “pembelajar” menjadi
manusia untuh bermartabat, justru menjadi alat penyiksa. Ironis dan
sungguh-sungguh sangat memprihatinkan.
Pendidikan yang ada telah tergilas atau terhanyut oleh kekuatan-kekuatan
atau sistem-sistem yang lain sehingga secara pasti tidak memungkinkan arah
perjalannya dapat menuju ke tujuan pendidikan nasional, apalagi ketercapaian
dari tujuan pendidikan nasional itu sendiri.
Dari gambaran di atas, mungkin saja, kita perlu berkaca pada pengalaman reformasi
pendidikan di Amerika. Paling tidak ada dua aspek penting yang perlu menjadi
titik perhatian di sini. Pertama; perencanaan pembangunan pendidikan
harus bertitiktolak dari suatu penelitian dan penilaian nasional tentang status
dan kondisi pendidikan yang didasarkan pada suatu standar dan ukuran kemajuan
yang terbuka, sehingga publik dengan mudah mengikuti kemajuan pendidikan yang
ada. Kedua; perencanaan pembangunan
pendidikan harus memiliki ajang pembahasan yang mampu meliput seluruh aspek dan
permasalahan pendidikan secara tuntas, dengan ekspektasi yang terukur, baik
secara normatif maupun kuantitatif. Perbandingan ukuran dapat secara internal
ditentukan dengan kriteria tertentu, atau secara eksternal dibandingkan dengan
kemajuan pendidikan negara-negara lain.
Sementara
untuk Indonesia, menurut beberapa pakar dan praktisi pendidikan, reformasi pendidikan dirumuskan dalam "bahasa tamsil" yang
sangat “utopis” yang kurang menggambarkan rumusan-rumusan permasalahan dan
prioritas pendidikan yang akan dicapai.
Akibatnya, muncul berbagai
masalah dalam dunia pendidikan kita yang belum teratasi. Permasalahan tersebut
antara lain kinerja yang tidak pas dengan tujuan umum pendidikan nasional,
produk pendidikan yang belum siap pakai, atau tidak sesuai dengan ketersediaan
lapangan kerja, rangking pendidikan kita di mata dunia yang setara dengan
negara-negara miskin atau baru merdeka. Dengan negara jiran Malaysia saja, kita
sudah jauh ketinggalan. Dengan kata lain, dalam
menyongsong berbagai kecenderungan yang aktual tidak ada alternatif lain selain
perlu penataan kembali terhadap dunia pendidikan mulai dari filsafat dan tujuan
pendidikan, manajemen pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, dan substansi
pengajaran secara nasional, regional dan local.
Sistem pendidikan kita terlihat masih bersifat
tambal sulam, mulai dari kebijakan kurikulum, manajemen, sistem pembelajaran,
tuntutan kualitas guru, tuntutan fasilitas dan dana pendidikan, kurang memliki
“prioritas” yang ingin dicapai. Sementara
secara umum, pendidikan seringkali dipandang sebagai investasi modal
jangka panjang yang harus mampu membekali “pembelajar” untuk menghadapi
kehidupan masa depannya. Pendidikan
harus mampu mencerahkan “pembelajar” dari ketidak tahuan menjadi tahu dan
memberdayakan, artinya pendidikan mampu
membuat “pembelajar” berhasil dalam kehidupan.
Maka, berbicara soal pendidikan adalah bicara “soal kualitas kehidupan
“pembelajar”, soal kualitas sumberdaya manusia [SDM], yang akan menjadi
tantangan dan sekaligus peluang bagi bangsa Indonesia untuk ikutan bergulir
sejajar dengan bangsa lain.
Secara ideal, sebenarnya dunia pendidikan kita harus
mampu berjalan beriringan dengan dunia luar. Akan tetapi, kendala utama yang
dihadapi adalah komitmen pemerintah yang tidak terfokus pada prioritas dalam
hal dana pendidikan baik pada masa lalu dan masa kini. Akibatnya idealisme
tersebut masih jauh dari impian, jauh dari kenyataan dan hanya menjadi
“mitos”. Maka yang menjadi persoalan sekarang
apakah pemerintah atau bangsa Indonesia ini sadar bahwa pendidikan merupakan
kunci utama untuk menghadapi persaingan dengan dunia luar. Apakah pemerintah baik pusat maupun daerah
memiliki komitmen untuk menentukan sektor pendidikan adalah faktor kunci bagi
pembangunan bangsa dan negara ini. Apabila
dilihat dari komitmen pemerintah Indonesia menempatkan anggaran pendidikan dibawah
standar yaitu kurang dari 10%
dalam anggaran belanja dan pendapatan negara [APBN] yang semestinya sebesar minimal
20%, bahkan semua komponen menghendaki, termasuk usulan
dari pengurus besar PGRI agar anggaran pendidikan mendapat alokasi 25% dari
APBN. Sebab, anggaran pendidikan yang memadai untuk dapat menjadikan SDM bangsa
Indonesia berkualitas setarap dengan tingkat pelayanan pendidikan di negara
maju hanya tinggal impian. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
sebenarnya kesadaran pemerintah Indonesia atas masalah pendidikan sangat rendah
dibandingkan perhatian pada sector lain.
Dengan rendahnya subsidi anggaran di bidang
pendidikan menjadi indikator betapa bidang ini masih jauh dari “ruh” dan
harapan reformasi. Oleh karena itu, formula
pembiayaan dan subsidi pendidikan yang “berkeadilan” berdasarkan kebutuhan
penyelenggaraan pendidikan yang nyata, yaitu dengan memperhatikan jumlah
“pembelajar”, kesulitan komunikasi, tingkat kesejahteraan masyarakat, dan
tingkat partisipasi pendidikan. Katakan saja, semakin sulit komunikasi, semakin
rendah tingkat kesejahteraan dan sumber pemasukan dana, maka semakin besar
subsidi yang dibutuhkan. Tingkat subsidi
untuk sekolah di ibukota propinsi, kabupaten, dan desa adalah sebesar 25%, 50%,
dan 75% hingga 100% untuk desa terpencil. Selanjutnya subsidi pendidikan untuk
satu lembaga pendidikan diberikan sebagai satu paket block grant yang
dapat digunakan oleh lembaga pendidikan sesuai kebutuhan, tidak dipilah-pilah
menjadi anggaran rutin untuk gaji, sarana pendidikan, dan BOP yang pengunaannya
diatur secara kaku berdasarkan Juklak dan Juknis dari Departemen.
Semua komponen bangsa mengakui bahwa pendidikan merupakan
prioritas utama dalam pengembangan sumber daya manusia. Tapi anggaran pendidikan hanya memperoleh
alokasi sebesar kurang dari 10% dalam anggaran belanja dan pendapatan negara
[APBN]. Semuanya menghendaki agar anggaran pendidikan mendapat alokasi 25% dari
APBN. Anggaran pendidikan yang memadai untuk menjadikan SDM bangsa Indonesia
setara dengan tingkat pelayanan pendidikan di negara maju hanya tinggal impian,
hanya mitos. Dapat diperhatikan bahwa alokasi “anggaran pendidikan” seharusnya
menjadi urutan utama untuk pengembangan sumber daya manusia Indonesia, tetapi
kenyataan anggaran pendidikan selalu terkalahkan unutuk kepentingan pembangunan
sektor lain terutama untuk sektor ekonomi.
4.
Perubahan Paradigma Pendidikan Pasca Reformasi
Pada era reformasi,
masyarakat Indonesia menginginkan
perubahan dalam semua aspek kehidupan bangsa. Berbagai terobosan telah
dilakukan dalam penyusunan konsep, serta tindakan-tindakan, dengan kata lain
diperlukan paradigma-paradigma baru di dalam menghadapi tuntutan perubahan
masyarakat tersebut. Katakan saja, pembaharuan pada sektor pendidikan yang
memiliki peran strategis dan fungsional, juga memerlukan paradigma baru yang
harus menekankan pada perubahan cara berpikir dalam pengelolaan dan pelaksanaan
pendidikan.
Pengalaman selama ini menunjukkan,
pendidikan nasional tidak dapat berperan sebagai penggerak dan “loko”
pembangunan, bahkan pendidikan telah menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan
teknologi, dengan munculnya berbagai kesenjangan: cultural, sosial, dan
khususnya kesenjangan vokasional dalam bentuk melimpahnya pengangguran terdidik.
Berbagai problem pendidikan yang muncul tersebut di atas bersumber pada
kelemahan pendidikan nasional yang sangat mendasar, sehingga tidak mungkin
disempurnakan hanya lewat pembaharuan yang bersifat “tambal sulam” .
Pembaharuan pendidikan nasional yang mendasar dan menyeluruh harus dimulai dari
mencari penjelasan baru atas paradigma peran pendidikan dalam pembangunan.
Paradigma tersebut harus berimplikasi pada
perubahan perspektif dalam pembangunan pendidikan, mulai dari perspektif yang
menganggap pendidikan sebagai sector pelayanan umum ke perspektif pendidikan
sebagai suatu investasi produk yang mampu mendorong pertumbuhan masyarakat di
berbagai bidang kehidupan. Sebab
pendidikan bukan bidang yang terlepas dari “kehidupan” lainnya.
Melalui paradigma baru tersebut, paling tidak
pendidikan harus mempu mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang
terjadi dalam lingkungan kehidupan. Bahkan, kalau memungkinkan, pendidikan
dapat mengubahnya menjadi faktor yang dapat menggerakkan atau mengarahkan perubahan
dalam lingkungan tersebut. Sebab, pendidikan dan kehidupan telah menyatu dalam
sebuah kerangka filosofis, bahwa proses pendidikan tidak lain adalah proses
memanusiakan manusia. Dengan dasar ini,
maka pendidikan dipandang sebagai “katalisator” dan “loko” yang dapat menyebabkan faktor-faktor lainnya
berkembang. Hal ini memberikan aksentuasi betapa pembangunan pendidikan sebagai
upaya pengembangan sumberdaya manusia [SDM] menjadi semakin penting dalam
pembangunan suatu bangsa.
Paradigma pendidikan dalam pembangunan yang
diikuti para penentu kebijakan [pemerintah] kita dewasa ini memiliki kelemahan,
baik teoritis maupun metodologis. Dalam
hal ini, tidak dapat diketemukan secara tepat dan pasti bagaimana proses
pendidikan menyumbang pada peningkatan kemampuan individu. Hal ini, memang secara mudah dapat dikatakan
bahwa pendidikan formal kita akan mampu mengembangkan kemampuan yang diperlukan
untuk memasuki sistem dunia kerja yang semakin kompleks. Tetapi, mungkin saja
pendidikan kita tidak mempu menjawab tantangan tersebut, sebab pada
kenyataannya, kemampuan [kompetensi] yang diterima dari lembaga pendidikan
formal tidak sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Dari
pemikiran di atas, maka pengambil kebijakan pendidikan perlu memperhatikan
berbagai persoalan yang sedang akan dihadapi bangsa ini. Oleh karena itu, perlu
ditempuh berbagai langkah baik dalam bidang manajemen, perencanaan, sampai pada
praksis pendidikan ditingkat mikro.
Langkah-langkah untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka
membangun paradigma baru sistem pendidikan nasional pasca reformasi, meliputi
:
Pertama,
pendidikan nasional hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada
demokratisasi bangsa, sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan
seluruh komponen masyarakat secara demokratis.
Kedua,
pendidikan nasional hendaknya memiliki misi agar tercipta partisipasi
masyarakat secara menyeluruh. Dengan demikian, secara mayoritas seluruh
komponen bangsa ada dalam masyarakat menjadi terdidik. Pendidikan, tidak
hanya terfokus untuk penyiapan tenaga kerja, tapi lebih jauh dari itu harus
memperkuat kemampuan dasar “pembelajar” sehingga memungkinkan baginya untuk
berkembang lebih jauh sebagai individu, anggota masyarakat maupun sebagai warga
negara dalam konteks kehidupan global.
Ketiga, substansi pendidikan dasar
hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan kreativitas “pembelajar” dalam
totalitasnya yang seimbang dan serasi.. Pendidikan menengah dan tinggi hendaknya diarahkan pada membuka
kemungkinan pengembangan individu [kepribadian] secara vertical dan horizontal.
Pengembangan vertikal mengacu pada struktur keilmuan, sedangkan pengembangan
horizontal mengacu pada keterkaitan dan relevansi antar bidang keilmuan.
Keempat,
pendidikan dasar dan menengah perlu mengembangkan sistem pembelajaran yang
egaliter dan demokratis agar tidak terjadi pengelompokan kelas atas dasar
kemampuan akademik. Pengelompokan mengakibatkan eksklusivisme bagi yang
siperior dan perasaan terisolasi bagi bagi mereka yang berada pada kelas
dua.
Kelima,
pendidikan tinggi, jangan hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja.
Pendidikan tinggi, harus mempersiapkan dan memperkuat kemampuan dasar mahasiswa
untuk memungkinkan mereka berkembang baik secara individu, anggota masyarakat,
maupun sebagai warga negara dalam konteks kehidupan yang global. Pendidikan
tinggi, diselenggarakan dengan menggunakan prinsip-prinsip manajemen yang
fleksibel dan dinamik, agar memungkinkan perguruan tinggi untuk berkembang
sesuai dengan potensi masing-masing serta tuntutan eksternal yang dihadapinya.
Keenam,
kebijakan kurikulum untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional, harus memperhatikan tahap perkembangan “pembelajar” dan
kesesuaian dengan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya,
seni, serta sesuai dengan jenjang masing-masing satuan pendidikan, dengan
mengembangkan proses pembelajaran kreatif. Jangan menjadikan pendidikan sebagai
bentuk model yang dikatakan Paulo
Freire, “pendidikan gaya bank” [banking concept of education], arinya
pendidik selalu melakukan deposito beberapa macam informasi ke bank
“pembelajar” tanpa harus tahu untuk apa informasi itu bagi kehidupan mereka.
Akibatnya, “pembelajar” memiliki pengetahuan, tetapi “pembelajar” kering dan
tidak memiliki sikap, minat, motivasi, dan kreativitas untuk mengembangkan diri
atas dasar pengetahuan yang dimiliki, serta “pembelajar” sendiri tidak memahami
dan tidak tahu untuk apa pengetahuan. Kedaan
semacam ini, perlu dikoreksi mulai dari tingkat pendidikan di sekolah dasar.
Proses pembelajaran yang mementingkan kemampuan analisis dan sistesis, sikap,
minat, motivasi, dan kreativitas yang tinggi terhadap pencapaian prestasi di
kalangan “pembelajar” perlu segera direkayasa, sehingga mampu melahirkan
manusia yang memiliki kemampuan kreatif, inovatif, mandiri, dan memiliki
kebebasan dalam berpikir.
Ketujuh,
dalam pembelajaran pada tingkat apa saja mesti dapat mengaktualisasi enam unsur
kapasitas belajar yaitu: [1] kepercayaan [confidence], [2])
keingintahuan [curioucity], [3] sadar tujuan [intensionality],
[4] kendali diri [self control], [5] mampu bekerja sama [work
together] dengan pihak mana saja, dan
[6] kemampuan bergaul secara harmonis
dan saling pengertian.
Kedelapan, untuk menjaga relevansi outcome pendidikan, perlu
diimplementasikan filsafat rekonstruksionisme dalam berbagai tingkat kebijakan
dan praktisi pendidikan. Berorientasi pada filsafat ini, pendidikan akan mampu
merekonstruksi berbagai bentuk penyakit sosial, mental dan moral yang ada dalam
masyarakat. Maka pendidikan kita, akan mampu menanamkan sikap toleransi etnis,
rasial, agama, dan budaya kepada “pembelajar” dalam konteks kehidupan yang
plural.
Kesembilan, pendidikan
nasional hendaknya mendapatkan proporsi alokasi dana yang cukup memedai [20% -
25% dari APBN dan APBD] agar dapat mengembangkan program-program pendidikan
yang berorientasi pada peningkatan mutu, relevansi, efesiensi dan pemerataan.
Kesepuluh, realisasi
pendidikan dalam konteks lokal, diperlukan badan-badan pembantu dalam dunia
pendidikan antara lain “Dewan Sekolah” yang di dalamnya harus ada unsur-unsur
Pemerintah Daerah, perwakilan guru-guru dan sudah tentu ada pula di dalamnya
tokoh-tokoh masyarakat dan para orang tua peserta didik. “Dewan Sekolah”,
berperan untuk memberi masukan yang tidak hanya pada aspek material dan kesejahteraan guru saja, tetapi
harus masukan dalam berbagai aspek, termasuk dalam perumusan, pembinaan, dan
evaluasi misi, visi dan substansi [kurikulum lokal dll] pendidikan yang relevan
dengan kebutuhan daerah masing-masing.
Maka, manajemen pendidikan harus dapat mengarahkan pada berbagai
kebijakan dalam proses pendidikan antara lain dalam proses pembelejaran sebagai
alat mencapai tujuan yaitu mendorong terwujudnya partisipasi, peningkatan
kualitas layanan melalui pemberdayaan lembaga pendididkan [sekolah] dan
pendidik [guru] dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam konteks
sosial budayanya sendiri..
Keseblas, perlu menetapkan model rekrutmen pejabat pendidikan secara
professional, sehingga dapat diperoleh the right person in the right place, bukannya
: the right person in the wrong place, atau lebih parah lagi : the
wrong person in the wrong place atau yang lebih suver parah lagi adalah
konsep familier, “kocoisme” dan “kronisme” .
Dalam konteks ini, kompetensi dan sertifikasi guru dan dosen harus juga
dilakukan secara professional pula.
Pemerintah harus membentuk suatu badan “independen” profesi guru dan
dosen yang anggota-anggotanya terdiri dari tenaga kependikanakan professional,
terpercaya, dan bertanggungjawab, yang akan menilai kompetensi dan profesionalisme
guru dan dosen. Mungkin saja, pengelola
pendidikan di Indonesia sudah memiliki pengalaman dengan Badang Akreditasi
Nasional [BAN]. Kinerja badan ini dinilai oleh “pengguna pendidikan” belum
“optimal” atau belum “substansional” dalam menilai kualitas suatu perguruan
tinggi. Sebab, badan ini hanya lebih banyak mengevaluasi aspek fisik dan
administrasi semata yang disiapkan oleh suatu perguruan tinggi, kemudian mengambil kesimpulan penilaian dengan
memberikan peredikat A-B dan C atau
tidak terakreditasi. Maka tidak
mengherankan, jika ada suatu perguruan tinggi yang dapat mempersiapakn dengan
mempoles atau merekayasa aspek “fisik” dan “administrasi” secara baik, dengan
“kualitas dosen” dan “mahasiswa” yang kurang memadai, tetap mendapatkan predikat penilai A atau B atau C, sangat ironis sekali.
Melalui pendidikan, masa depan bangsa dapat
dirancang sebaik mungkin dengan cara mempersiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas. Dengan dasar ini, kita harus berusaha untuk :
Pertama, “mewujudkan sistem dan iklim
pendidikan nasional yang demokratis dan bermutu, guna memperteguh akhlak mulia,
kreatif, inovatif, berwawasan kebangsaan, cerdas, sehat, berdisiplin,
bertanggung jawab, berketerampilan serta menguasai iptek dalam rangka
mengembangkan kualitas manusia Indonesia”.
Kedua,
perlu meningkatkan kualitas lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh
berbagai pihak secara efektif dan efisien terutama dalam pengembangan iptek,
seni dan budaya sehingga membangkitkan semangat yang pro-aktif, kreatif, dan
selalu reaktif dalam seluruh komponen bangsa.
Ketiga, mengembangkan pendidikan yang memanusiakan
manusia, pendidikan yang dapat mengembangkan harkat dan martabat manusia [human
dignity], dan mempersiapkan menusia menjadi khalifah [manizing human].
Keempat, dalam menyongsong berbagai kecenderungan yang
aktual tidak ada alternatif lain selain perlu penataan kembali terhadap dunia
pendidikan mulai dari filsafat dan tujuan pendidikan sampai ke manajemen
pendidikan, kurikulum, metode pembelajaran, substansi pengajaran, dan pendanaan
pendidikan, sehingga kebijakan pendidikan kita tidak hanya berada pada tataran
“mitos”, tetapi berada pada kebijakan “kenyataan” yang “riel” yang dapat dievaluasi dan
dipertanggungjawabkan.
No comments:
Post a Comment