KONSEPTUAL
DAN TEORI BUDAYA ORGANISASI
Secara
umum budaya organisasi didefinisikan sebagai serangkaian tata nilai, keyakinan,
dan pola-pola perilaku yang membentuk identitas organisasi serta perilaku para
anggotanya (Deshpande & Farley, 1999). Budaya organisasi, berdasarkan
definisi ini, dapat ditempatkan pada arah nilai (values) maupun norma perilaku (behavioral norms). Budaya organisasi sebagai nilai merujuk pada segala
sesuatu dalam organisasi yang dipandang sangat bernilai (highly valued), sedangkan sebagai norma perilaku (behavioral norms) budaya organisasi mengacu pada bagaimana sebaiknya
elemen-elemen (anggota) organisasi berperilaku (Xenikou & Furnham, 1996).
Penjelasan
di atas sejalan dengan pemikiran Kotter dan Heskett (dalam Wilson, 1997) yang
mengemukakan bahwa budaya organisasi terdiri dari dua tingkatan. Tingkatan
pertama disebut the
deeper level yang menunjuk pada nilai-nilai
bersama yang diyakini oleh seluruh elemen organisasi dan, oleh sebab itu, sulit
untuk berubah. Schein (1991) menyebut tingkatan ini sebagai asumsi-asumsi dasar
(basic
assumptions) yang terdiri dari cita-cita dan kesadaran
bersama yang menyatukan pandangan anggota organisasi. Tingkatan kedua disebut the visible
level yang mengacu pada pola-pola perilaku
para anggota organisasi, lingkungan sosial dan fisik, serta tata bahasa yang
digunakan oleh organisasi tersebut. Kedua tingkatan tersebut tidak bersifat
independen tapi saling berkaitan, dimana pola-pola perilaku dipandang sebagai
implikasi maupun manifestasi dari nilai-nilai bersama (shared values) (Hofstede et al.,
1990; Schein, 1991; Wilson, 1997).
Hofstede
et
al. (1990), Lok dan Crawford (2001),
Palthe dan Kossek(2003), serta Xenikou dan Furnham (1996) berpandangan bahwa
nilai-nilai bersama pada the deeper level sangat
sulit untuk diobservasi dan diukur sehingga studi-studi empiris lebih banyak
memusatkan pada norma-norma atau pola perilaku. Pratt dan Beaulieu (1992)
bahkan berpandangan bahwa nilai-nilai bersama tidak dapat diobservasi secara
obyektif, tapi hanya bisa dinilai dari pola perilaku anggota organisasi yang
merupakan manifestasi shared
values. Hal ini disebabkan nilai-nilai
bersama bersifat sangat kualitatif dan upaya menerjemahkan kedalam bentuk yang
terukur (kuantitatif) beresiko terhadap problem bias dalam pengukuran.
Budaya
organisasi dalam arah norma perilaku menurut Wilson (2001) menggambarkan
pola-pola perilaku yang bersifat tetap dimana ide-ide maupun pemikiran-pemikiran
diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, atau dari satu
kelompok kepada kelompok lainnya. Wilson (2001) lebih jauh menjelaskan bahwa
transfer perilaku terjadi tidak secara genetik (turun temurun) namun melalui
interaksi sosial antar anggota organisasi. Polapola perilaku tersebut stabil
dan mengalami perubahan yang relatif lamban.
Ide-ide
atau pemikiran-pemikiran juga berfungsi sebagai pedoman bagi diterimanya suatu
perilaku. Dalam kaitannya dengan budaya organisasi sebagai manifestasi nilai-nilai
bersama, Palthe dan Kossek (2003) serta Wilson (1997, 2001) menguraikan 3
perspektif budaya organisasi yang dikenal dalam literatur manajemen sumber daya
manusia, yaitu:
1.
Perspektif integrasi (integration
perspective) Perspektif ini menjelaskan bahwa
dalam satu organisasi terdapat pola-pola perilaku homogen yang menjadi
konsensus seluruh organisasi dan bersifat konsisten. Sehingga konflik,
perbedaan yang muncul, ataupun keberadaaan sub budaya merupakan indikasi budaya
organisasi yang negatif atau lemah. Dalam perspektif ini, budaya organisasi dipandang
sebagai suatu mekanisme pemersatu (integrating mechanism) yang mendorong kebersamaan dan homogenitas diantara
anggota organisasi.
2.
Perspektif diferensiasi (differentiation
perspective) Perspektif ini memusatkan
perhatiannya pada keberadaan berbagai sub budaya dalam sebuah organisasi.
Perspektif ini mengakui perbedaan norma perilaku antar bagian dalam sebuah
organisasi dimana norma perilaku tersebut dapat bersifat independen. Keberadaan
sub budaya ini tidak terlepas dari variabel-variabel demografis seperti jenis kelamin,
ras, etnis, latar belakang pendidikan, jabatan. Dalam perspektif diferensiasi,
budaya organisasi merupakan gabungan atau campuran dari berbagai sub budaya
yang muncul dalam organisasi tersebut.
3.
Perspektif fragmentasi (fragmentation
perspective) Perspektif ini memandang bahwa
hubungan antar manifestasi dari nilai-nilai bersama bersifat sangat kompleks,
kontradiktif, dan tidak jelas. Tidak seperti perspektif integrasi yang
memusatkan perhatian pada konsensus tunggal dalam sebuah organisasi atau
perspektif diferensiasi yang mengakui keberadaan berbagai sub budaya,
perspektif fragmentasi memusatkan perhatian pada ambiguitas dan inkonsistensi
pola-pola perilaku anggota organisasi. Perspektif fragmentasi didorong oleh
adanya premis bahwa konsep diri anggota organisasi (self conception) cenderung berubah-ubah, seperti halnya organisasi dan
lingkungan dimana organisasi tersebut berada yang cenderung dinamis.
Perspektif fragmentasi seringkali
dipandang sebagai postmodernisme dari persepktif diferensiasi. Palthe dan
Kossek (2003) berargumentasi bahwa perspektif integrasi mengaburkan perbedaan
norma perilaku yang dapat dipastikan ada dalam setiap organisasi dan
menyarankan bahwa strategi organisasi lebih baik
diarahkan
untuk mengidentifikasi dan mengakomodasi perbedaan antar sub budaya yang ada
dalam organisasi tersebut. Lepak dan Snell (dalam Palthe & Kossek, 2003 p.
295) menegaskan bahwa: “there may actually no one best set of
practices for every employee within the firm”
oleh karena itu, keberadaan berbagai sub budaya dalam organisasi adalah sesuatu
yang nyata dalam kehidupan organisasi sehari-hari, sedangkan keberadaan budaya
organisasi tunggal (unitary
culture) merupakan suatu pengecualian.
Pennings
dan Goodman (dalam Bolon & Bolon, 1994) menjelaskan bahwa setiap organisasi
pada dasarnya bersifat multikultural dan lebih jauh menjelaskan bahwa:
Organizations are also seen as
comprising internal interest groups, or constituencies, which make claims on
the organization. An organizational constituiency is any group within an
organisation whose members have identifiable common interests that they try to
promote. Such a constituency can be delineated by departmental or hierarchical boundaries
or, more generally, by clusters of members that share distinct values and
interests (dalam Bolon & Bolon, 1994 p.
22)
Di
sisi lain, berbagai penelitian empiris terdahulu sebagaimana dirangkum oleh
Wilson (2001) membuktikan bahwa budaya organisasi dalam perspektif fragmentasi
bersifat tentatif dan spesifik untuk satu bagian kelompok dalam sebuah
organisasi besar atau momen tertentu saja, sehingga hasil penelitian tersebut
kurang dapat digeneralisir untuk kelompok-kelompok dalam organisasi lain atau
untuk momen-momen dengan kondisi dan situasi yang berbeda.
No comments:
Post a Comment