Saturday, 14 November 2015

konsep dan teori budaya organisasi

KONSEPTUAL DAN TEORI BUDAYA ORGANISASI

Secara umum budaya organisasi didefinisikan sebagai serangkaian tata nilai, keyakinan, dan pola-pola perilaku yang membentuk identitas organisasi serta perilaku para anggotanya (Deshpande & Farley, 1999). Budaya organisasi, berdasarkan definisi ini, dapat ditempatkan pada arah nilai (values) maupun norma perilaku (behavioral norms). Budaya organisasi sebagai nilai merujuk pada segala sesuatu dalam organisasi yang dipandang sangat bernilai (highly valued), sedangkan sebagai norma perilaku (behavioral norms) budaya organisasi mengacu pada bagaimana sebaiknya elemen-elemen (anggota) organisasi berperilaku (Xenikou & Furnham, 1996).

Penjelasan di atas sejalan dengan pemikiran Kotter dan Heskett (dalam Wilson, 1997) yang mengemukakan bahwa budaya organisasi terdiri dari dua tingkatan. Tingkatan pertama disebut the deeper level yang menunjuk pada nilai-nilai bersama yang diyakini oleh seluruh elemen organisasi dan, oleh sebab itu, sulit untuk berubah. Schein (1991) menyebut tingkatan ini sebagai asumsi-asumsi dasar (basic assumptions) yang terdiri dari cita-cita dan kesadaran bersama yang menyatukan pandangan anggota organisasi. Tingkatan kedua disebut the visible level yang mengacu pada pola-pola perilaku para anggota organisasi, lingkungan sosial dan fisik, serta tata bahasa yang digunakan oleh organisasi tersebut. Kedua tingkatan tersebut tidak bersifat independen tapi saling berkaitan, dimana pola-pola perilaku dipandang sebagai implikasi maupun manifestasi dari nilai-nilai bersama (shared values) (Hofstede et al., 1990; Schein, 1991; Wilson, 1997).

Hofstede et al. (1990), Lok dan Crawford (2001), Palthe dan Kossek(2003), serta Xenikou dan Furnham (1996) berpandangan bahwa nilai-nilai bersama pada the deeper level sangat sulit untuk diobservasi dan diukur sehingga studi-studi empiris lebih banyak memusatkan pada norma-norma atau pola perilaku. Pratt dan Beaulieu (1992) bahkan berpandangan bahwa nilai-nilai bersama tidak dapat diobservasi secara obyektif, tapi hanya bisa dinilai dari pola perilaku anggota organisasi yang merupakan manifestasi shared values. Hal ini disebabkan nilai-nilai bersama bersifat sangat kualitatif dan upaya menerjemahkan kedalam bentuk yang terukur (kuantitatif) beresiko terhadap problem bias dalam pengukuran.

Budaya organisasi dalam arah norma perilaku menurut Wilson (2001) menggambarkan pola-pola perilaku yang bersifat tetap dimana ide-ide maupun pemikiran-pemikiran diturunkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya, atau dari satu kelompok kepada kelompok lainnya. Wilson (2001) lebih jauh menjelaskan bahwa transfer perilaku terjadi tidak secara genetik (turun temurun) namun melalui interaksi sosial antar anggota organisasi. Polapola perilaku tersebut stabil dan mengalami perubahan yang relatif lamban.

Ide-ide atau pemikiran-pemikiran juga berfungsi sebagai pedoman bagi diterimanya suatu perilaku. Dalam kaitannya dengan budaya organisasi sebagai manifestasi nilai-nilai bersama, Palthe dan Kossek (2003) serta Wilson (1997, 2001) menguraikan 3 perspektif budaya organisasi yang dikenal dalam literatur manajemen sumber daya manusia, yaitu:
1.        Perspektif integrasi (integration perspective) Perspektif ini menjelaskan bahwa dalam satu organisasi terdapat pola-pola perilaku homogen yang menjadi konsensus seluruh organisasi dan bersifat konsisten. Sehingga konflik, perbedaan yang muncul, ataupun keberadaaan sub budaya merupakan indikasi budaya organisasi yang negatif atau lemah. Dalam perspektif ini, budaya organisasi dipandang sebagai suatu mekanisme pemersatu (integrating mechanism) yang mendorong kebersamaan dan homogenitas diantara anggota organisasi.
2.        Perspektif diferensiasi (differentiation perspective) Perspektif ini memusatkan perhatiannya pada keberadaan berbagai sub budaya dalam sebuah organisasi. Perspektif ini mengakui perbedaan norma perilaku antar bagian dalam sebuah organisasi dimana norma perilaku tersebut dapat bersifat independen. Keberadaan sub budaya ini tidak terlepas dari variabel-variabel demografis seperti jenis kelamin, ras, etnis, latar belakang pendidikan, jabatan. Dalam perspektif diferensiasi, budaya organisasi merupakan gabungan atau campuran dari berbagai sub budaya yang muncul dalam organisasi tersebut.
3.        Perspektif fragmentasi (fragmentation perspective) Perspektif ini memandang bahwa hubungan antar manifestasi dari nilai-nilai bersama bersifat sangat kompleks, kontradiktif, dan tidak jelas. Tidak seperti perspektif integrasi yang memusatkan perhatian pada konsensus tunggal dalam sebuah organisasi atau perspektif diferensiasi yang mengakui keberadaan berbagai sub budaya, perspektif fragmentasi memusatkan perhatian pada ambiguitas dan inkonsistensi pola-pola perilaku anggota organisasi. Perspektif fragmentasi didorong oleh adanya premis bahwa konsep diri anggota organisasi (self conception) cenderung berubah-ubah, seperti halnya organisasi dan lingkungan dimana organisasi tersebut berada yang cenderung dinamis.

Perspektif fragmentasi seringkali dipandang sebagai postmodernisme dari persepktif diferensiasi. Palthe dan Kossek (2003) berargumentasi bahwa perspektif integrasi mengaburkan perbedaan norma perilaku yang dapat dipastikan ada dalam setiap organisasi dan menyarankan bahwa strategi organisasi lebih baik
diarahkan untuk mengidentifikasi dan mengakomodasi perbedaan antar sub budaya yang ada dalam organisasi tersebut. Lepak dan Snell (dalam Palthe & Kossek, 2003 p. 295) menegaskan bahwa: “there may actually no one best set of practices for every employee within the firm” oleh karena itu, keberadaan berbagai sub budaya dalam organisasi adalah sesuatu yang nyata dalam kehidupan organisasi sehari-hari, sedangkan keberadaan budaya organisasi tunggal (unitary culture) merupakan suatu pengecualian.

Pennings dan Goodman (dalam Bolon & Bolon, 1994) menjelaskan bahwa setiap organisasi pada dasarnya bersifat multikultural dan lebih jauh menjelaskan bahwa:
Organizations are also seen as comprising internal interest groups, or constituencies, which make claims on the organization. An organizational constituiency is any group within an organisation whose members have identifiable common interests that they try to promote. Such a constituency can be delineated by departmental or hierarchical boundaries or, more generally, by clusters of members that share distinct values and interests (dalam Bolon & Bolon, 1994 p. 22)


Di sisi lain, berbagai penelitian empiris terdahulu sebagaimana dirangkum oleh Wilson (2001) membuktikan bahwa budaya organisasi dalam perspektif fragmentasi bersifat tentatif dan spesifik untuk satu bagian kelompok dalam sebuah organisasi besar atau momen tertentu saja, sehingga hasil penelitian tersebut kurang dapat digeneralisir untuk kelompok-kelompok dalam organisasi lain atau untuk momen-momen dengan kondisi dan situasi yang berbeda.

No comments:

Post a Comment