PERWUJUDAN GOOD GOVERNANCE
DALAM PEMBANGUNAN MASYARAKAT MADANI
1. Pendahuluan
Abad 21 menghadapkan lingkungan strategis
nasional dan internasional yang berbeda dengan tantangan strategis yang dihadapi pada Abad
20. Di akhir Abad 20 dan dalam dekade-dekade awal Abad 21, Indonesia
menghadapi tantangan-tantangan berat di segala bidang; krisis multi dimensi,
ancaman desintegrasi, dan keterpurukan ekonomi. Indikator-indikator pembangunan
menunjukan bahwa posisi Indonesia berada dalam kelompok terendah dalam peta
kemajuan pembangunan bangsa-bangsa, baik dilihat dari indeks pembangunan
manusia, ketahanan ekonomi, struktur industri, perkembangan pertanian, sistem
hukum dan peradilan, penyelenggaraan clean government, dan penyelenggaraan good
governance baik pada sektor publik mau pun bisnis. Selain itu, Indonesia masih dipandang sebagai
negara dengan resiko tinggi, dengan tingkat korupsi termasuk tertinggi,
demikian pula dari besarnya hutang luar negeri. Dan perkembangan politik di
Indonesia yang ditandai dengan kekasaran politik dan jumlah partai politik
terbesar di dunia, menunjukan kultur politik dan kehidupan demokrasi yang belum
mantap, merupakan fenomena yang memerlukan perhatian sungguh-sungguh dari setiap pemimpin bangsa. Pembangunan Masyarakat Madani merupakan
opsi dari ketidak pastian paradigma yang ditempuh bangsa Indonesia dalam
menghadapi permasalahan-perma-salahan besar dan mendasar yang dihadapinya di
Abad 21 ini. Bangsa yang menderita krisis multi dimensi berkepanjangan sejak
tahun-tahun terakhir Abad 20 dengan berbagai dampaknya yang luas dalam
kehidupan masyarakat, memerlukan kejelasan, konsensus, dan komitmen bersama
mengenai paradigma, sistem, dan strategi yang harus ditempuh dalam
menghadapinya, dalam menghadapi krisis multi dimensi, tantangan pemulihan
ekonomi, dan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa dewasa
ini dan di masa datang.
Masyarakat
Madani sebagai “paradigma dan sistem peradaban” yang memberi ruang secara
seimbang kepada masyarakat dan pemerintah dalam kehidupan bernegara, telah
menarik cukup perhatian sebagai opsi pendekatan dalam menghadapi permasalahan
bangsa tersebut, dalam diskursus mengenai resolusi permasalahan sistem
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa dalam negara hukum yang demokratis.
Dalam hubungan itu, kepemerintahan yang baik atau good governance menawarkan
alternatif pendekatan dalam pengembangan kebijakan pembangunan untuk lebih
membumikan nilai-nilai masyarakat madani dalam sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara dan pembangunan bangsa.
Penataan
Ulang Sistem Birokrasi Nasional Dalam Rangka Pencapaian Good Governancedalam
perwujudan Masyarakat Madani perlu memperhatikan (1) “birokrasi disadari merupakan kunci bagi
terselenggaranya Good Governance, (2) Good Governance merupakan salah satu
pilar pendukung masyarakat madani di samping dua lainnya, yaitu masyarakat
(society) dan dunia usaha (business sector); dan (3) Good Governance dan Masyarakat Madani
merupakan dua sisi dari suatu mata uang yang akan utuh nilainya apabila tidak
dipecah, bahkan nilainya akan semakin tinggi
apabila keduanya dikembangkan saling mengisi dan memperkuat
Pengertian
penataan birokrasi atau penataan ulang sistem birokrasi nasional dalam dokumen
dan kebijakan pemerintah selama ini lebih banyak diartikan secara partial
sebagai “restrukturisasi organisasi” aparatur pemerintahan (khususnya
Kementerian, Departemen/LPND, Perangkat Organisasi Pemda), tidak meliputi
keseluruhan dimensi sistemik secara terpadu. Konsep tersebut perlu
disempurnakan dengan menambahkan “revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi
manajemen pemerintahan”, dan diamalkannya secara konsisten “dimensi-dimensi
spiritual” yang melekat pada Sistem Administrasi Negara Kesatuan, Republik
Indonesia dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Hal ini menuntut
perubahan kompetensi SDM secara menyeluruh yang perlu dijabarkan secara
konsisten dan proporsional. Sejalan dengan itu, konsep “restrukturisasi organisasi” yang dianut
selama ini, ke depan perlu dilandasi pemikiran yang lebih mendasar, yang
mengakomodasikan berbagai perubahan lingkungan stratejik internal dan
eksternal, dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang, dan memberikan
rumusan yang jelas mengenai “makna, ruang dan kewenangan publik”. Hal tersebut menjadi semakin terasa penting
sebab yang kiranya perlu menjadi pemikiran dan upaya pembaruan ke depan adalah
perwujudan Good Governance dan Masyarakat Madani suatu paradigma “baru” dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan bangsa yang perlu dipadukan secara
serasi dan proporsional, dan diwujudkan dalam sistem dan proses birokrasi
pemerintahan yang dapat berperan sebagai wahana perjuangan bangsa dalam
mewujudkan cita-cita dan tujuan
bernegara sebagaimana diamanatkan para founding fathers negara bangsa
ini dalam Pembukaan UUD 1945.
Dalam
tulisan ini selanjutnya akan diuraikan beberapa pandangan mengenai Masyarakat
Madani (civil society), kepemerintahan yang baik (good governance), dan
reformasi birokrasi dalam rangka mengemban amanat perjuangan bangsa mewujudkan
cita-cita dan tujuan bernegara
sebagaimana diungkapkan para founding fathers negara bangsa ini dalam Pembukaan
UUD 1945.
2. Masyarakat
Madani Dan Good Governance Sebagai
Paradigma Dan Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan Dan Pembangunan Bangsa
Dalam pemikiran mengenai “penyelenggaraan
negara” (secara demokratis dan berdasarkan hukum) seiring dengan gerakan
reformasi nasional menuju Indonesia Baru di masa depan, teridentifikasi konsep Masyarakat
Madani dan Good Governance yang telah berkembang sebagai alternatif pendekatan dalam pengkajian dan pengembangan
sistem penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa.
Pada tahap perkembangannya dewasa ini, uraian
mengenai Masyarakat Madani pada umumnya masih terbatas pada nilai-nilai dasar
dan konsep-konsep pokok dalam rangka penyelenggaraan negara untuk lebih
menyeimbangkan posisi dan peran pemerintah dan masyarakat dalam penyelenggaraan
negara dan pembangunan, belum secara utuh terjalin sebagai kerangka pemikiran
yang terarah pada pengembangan sistem peradaban dan perwujudan cita-cita dan
tujuan bangsa bernegara sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Demikian pula
pengembangan Good Governance, masih sangat memerlukan komitmen politik yang
kuat dan kompetensi tinggi untuk
membumikannya, serta menginstitusionalisasikannya secara efektip dalam manajemen
pemerintahan.
Adapun nilai-nilai dan prinsip dasar yang
menandai Masyarakat Madani, antara lain adalah “ketuhanan, kemerdekaan, etika,
hak asasi dan martabat manusia, supremasi hukum, kebangsaan, demokrasi, sistem
checks and balances, kemajemukan, perbedaan pendapat, kebersamaan, persatuan
dan kesatuan, kemitraan, kesejahteraan bersama, dan keadilan”. Sedangkan nilai
dan prinsip dasar yang menandai Good Governance secara universal antara lain
adalah “kepastian hukum, transparansi, partisipasi, profesionalitas, dan
pertanggung jawaban (akuntabilitas)”; yang dalam konteks nasional perlu
ditambahkan dengan nilai dan prinsip “daya guna, hasil guna, bersih (clean
government), desentralisasi, kebijakan yang serasi dan tepat, serta daya
saing”.
Secara konseptual Masyarakat Madani dan Good Governance
merupakan paradigma dan sistem peradaban
yang luhur dalam penyelenggaraan negara, dan untuk mewujudkannya sebagai sistem
penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan bangsa, diperlukan
persyaratan tertentu yang harus dipenuhi oleh setiap unsur penyelenggara
negara, baik warga negara maupun aparatur pemerintahan negara, atau oleh
keseluruhan pilar pendukung Masyarakat Madani dan Good Governance yaitu
“masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha”. Persyaratan tersebut pada essensinya
adalah konsensus, kompetensi, komitmen dan konsistensi dalam mewujudkan dan
memelihara nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan individu dan kehidupan
bersama, dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, yang didasarkan pada
keimanan dan ketaqwaan. Artinya, Masyarakat Madani dan Good Governance dapat menduduki posisi dan
peran yang aktual dan efektif sebagai paradigma dan sistem penyelenggaraan
negara dan pembangunan bangsa, apabila
ada kesepakatan nasional untuk mengekspresikan nilai dan prinsip yang
menjadi ciri dasar keduanya dalam keseluruhan dimensi dan aktivitas kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan berkembang komitmen, kompetensi,
dan konsistensi untuk pengamalannya oleh warga negara dan aparatur negara,
dalam upaya atau perjuangan mewujudkan
harapan dan cita-cita bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara
sebagaimana diamanatkan para founding fathers negara bangsa ini dalam Pembukaan
UUD 1945.
Dalam
kajian penginstitusionalisasian paradigma Masyarakat Madani dan Good Governance
tersebut khususnya dalam Manajemen Pemerintahan perlu dipertanyakan validitas
keduanya dengan nilai dan prinsip dasar yang telah ditetapkan dalam Konstitusi
Negara. Sebagai wahana perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan suatu bangsa
dalam bernegara, pengembangan setiap sistem administrasi negara didasarkan pada
konstitusi negara bangsa bersangkutan. Demikian pula Indonesia. Sistem
Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia didasarkan pada dan merupakan
penjabaran dari UUD 1945. Pada Pembukaan UUD 1945 terdapat ungkapan yang
mendeklarasikan “the Spiritual Dimensions of the Indonesian Public
Administration” yang sangat mendasar. Makna spiritual dalam konteks Indonesia
ini mengandung makna “psiko religius dan kultural” yang kental dengan dimensi
ketuhanan dan pengakuan bangsa Indonesia akan keberadaan dan peran Allah Yang
Maha Kuasa dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan luhur bangsa dan
negara, yang sepenuhnya merefleksikan nilai-nilai kemanusiaan yang fitri atau
murni dan universal. Pembukaan UUD 1945 menegaskan dimensi spiritual dari
sistem administrasi negara kita, berupa
pernyataan keimanan dan pengakuaan kemaha kekuasaan Allah SWT dalam perjuangan
bangsa (pada alinea tiga); serta cita-cita dan tujuan bernegara, dan sistem
pemerintahan negara (alinea empat). Pada dasarnya, dimensi-dimensi spiritual tersebut
sepenuhnya merefleksikan komitmen terhadap nilai dan prinsip Masyarakat Madani
dan Good Governance.
3. Reformasi Birokrasi
Guna Mewujudkan Good Governance Dan Masyarakat Madani
Masyarakat Madani sebagai paradigma
dan alternatif pendekatan untuk menata ulang sistem penyelenggaraan negara dan
pembangunan bangsa, mendeterminasikan keimanan, ketaqwaan, dan keseimbangkan
posisi dan peran pemerintah dan masyarakat, serta konsistensi dalam mewujudkan
nilai dan prinsip Masyarakat Madani; termasuk penegakan hukum, penerapan
prinsip dan sendi-sendi kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan negara,
menghormati oposisi dan perbedaan pendapat, serta menjunjung tinggi HAM dan
hak-hak warga negara seluruh lapisan masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Dalam rangka itu, Good Governance sebagai sistem
organisasi dan manajemen pemerintahan, diharapkan tampil dengan susunan
organisasi pemerintahan yang sederhana, agenda kebijakan yang tepat, pembagian
tugas kelembagaan yang jelas, kewenangan yang seimbang, personnel yang
professional, prosedur pelayanaan publik yang efisien, kelembagaan pengawasan
yang mantap, dan sistem pertanggung jawaban yang tegas. Sedangkan manajemen
pemerintahan harus dapat secara sistematis mengembangkan dan menerapkan nilai
dan prinsip Good Governance, serta memiliki visi, misi, strategi, dan kebijakan
yang tepat dalam menghadapi berbagai
permasalahan bangsa.
Dalam pada itu, “SDM di dalam organisasi pemerintahan”, baik
para birokrat karier mau pun political appointees, diharapkan menjiwai perannya
dalam mengemban “misi perjuangan bangsa”,
dan mampu melaksanakan tugasnya sebagai abdi masyarakat dan abdi negara
yang bertanggung jawab, bijak, efektip, efisien, adil, dan santun, baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat secara langsung,
maupun dalam “pengelolaan berbagai kebijakan” dalam menghadapi permasalahan
bangsa dan dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara.
Sejalan dengan itu, setiap warga negara dan masyarakat pun diharapkan lebih
menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawabnya dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara, dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bersama dalam
bernegara.
Dengan demikian, reformasi sistem
birokrasi dalam rangka perwujudan Good Governance dan Masyarakat madani harus
menyentuh keseluruhan pilar pendukungnya dan secara substansial meliputi unsur
“organisasi, manajemen, dan sumber daya manusia” yang didasarkan dan terarah
pada nilai dan prinsip Masyarakat Madani dan Good Governance. Dalam rangka
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa kita, semua itu merupakan manifestasi dari
dimensi-dimensi spiritual negara yang harus diamalkan secara konsisten dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa baik oleh aparatur negara maupun
warga masyarakat.
Nilai dan prinsip Masyarakat Madani
dan Good Governance harus merupakan komitmen dan melekat pada setiap individu
dan institusi sesuai posisi dan peran masing-masing dalam kehidupan bernegara.
Dalam pembangunan birokrasi, fungsi dari
nilai-nilai tersebut adalah menjadi pedoman perilaku dalam bersikap, berpikir,
dan bertindak, baik secara individual maupun secara institusional, yang dalam
rangka pelaksanaan tugas dan fungsi kepemerintahan dapat dijabarkan antara lain
dalam format “pengelolaan pelayanan dan kebijakan prima” (excellent management
of public services and policies) yang memungkinkan karya dan kinerja
keseluruhan pilar dan unsur Masyarakat Madani mencapai tingkat optimalitas
sosial. Tanpa consensus, kompetensi, dan komitmen bersama, Masyarakat Madani
dan Good Governance tidak mungkin dapat terwujud sebagai sistem penyelenggaraan
negara dan pembangunan bangsa.
4.
Issues
Aktual Dan Implikasi-implikasi Kebijakan
Permasalahan birokrasi penyelenggara
kewenangan tugas kepeme-rintahan yang mengemuka dalam rangka penyelenggaraan
negara dan pembangunan bangsa dewasa ini antaranya adalah “tatanan organisasi
dan manajemen pemerintah pusat yang belum mantap, desentralisasi yang
menyulitkan koordinasi, format perangkat pemerintahan di daerah yang
duplikatif, kompetensi aparatur yang memperihatinkan, dan agenda kebijakan yang
tidak efektif dalam menghadapi permasalahan dan tantangan pembangunan bangsa”.
Selain itu, lemahnya pelaksanaan
pelayanan prima dan disiplin aparatur,
termasuk dalam penegakan hukum. Semua itu mengindikasikan diperlukannya
suatu “grand strategy” dalam penataan birokrasi secara sistemik, yang
mempertimbangkan bukan saja keseluruhan kondisi internal birokrasi tetapi juga
permasalahan dan tantangan stratejik yang dihadapkan lingkungannya. Dalam konteks perubahan internal
tersebut, reformasi birokrasi nasional
perlu diarahkanan pada (1) penyesuaian
visi, misi, dan strategi, (2) perampingan organisasi dan penyederhanaan tata
kerja, (3) pemantapan sistem manajemen, dan (4) peningkatan kompetensi sumber
daya manusia; secara keseluruhan semua itu disesuaikan dengan dimensi-dimensi
spiritual negara, nilai dan prinsip Good Governance dan Masyarakat Madani, dan
tantangan lingkungan stratejik yang dihadapi.
Birokrasi Pemerintah Pusat dan Daerah
(organisasi dan manajemen, dan SDMnya) perlu memiliki visi, misi, strategi,
agenda kebijakan, kompetensi, dan komitmen pembangunan dan pelayanan yang jelas
dilandasi dimensi-dimensi spiritual Negara dan tegas terfokus pada permasalahan
yang mendesak perlu di atasi, dan terarah pada
perwujudan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara. Dengan visi, misi,
strategi yang didasarkan pada paradigma pembangunan dan agenda kebijakan yang
tepat, didukung dengan sistem manajemen yang berorientasi pada penerapan nilai
dan prinsip Masyarakat Madani dan Good Governance, disertai kompetensi dan
komitmen yang kuat dalam keseluruhan tatanan organisasinya yang tersusun secara
tepat disertai pelimpahan kewenangan yang seimbang, pemerintah akan dapat
mencapai kinerja yang optimal dalam menghadapi berbagai permasalahan dan
tantangan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Selain itu,
tantangan lingkungan stratejik mengharuskan pula pilihan-pilihan kritis
terhadap paradigma pembangunan yang harus dipilih sebagai landasaan strategi
dan kebijakan pembangunan bangsa. Hal ini juga mensyaratkan manajemen
pemerintahan yang “canggih“ dan kompetensi SDM yang teruji.
Penataan Organisasi dan Tata Kerja. Penataan
organisasi pemerintah
baik pusat maupun daerah didasarkan pada visi, misi,
sasaran, strategi, agenda kebijakan, program, dan kinerja kegiatan yang
terencana; dan diarahkan pada terbangunnya sosok birokrasi yang ramping,
desentralistik, efisien, efektif, berpertanggung jawaban, terbuka, dan aksesif; serta terjalin dengan
jelas satu sama lain sebagai satu kesatuan birokrasi nasional. Seiring dengan
itu, penyederhanaan tata kerja dalam hubungan intra dan antar aparatur, serta
antara aparatur dan masyarakat
dikembangkan terarah pada penerapan
pelayanan prima yang efektip, dan
mendorong peningkatan produktivitas
kegiatan pelayanan aparatur dan masyarakat.
Pemantapan Sistem Manajemen. Dengan
makin meningkatnya dinamika masyarakat dalam penyelengaraan negara dan
pembangunan bangsa, pengembangan sistem manajemen pemerintahan diprioritaskan
pada revitalisasi pelaksanaan fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan dan
pelayanan publik
yang kondusif, transparan, dan akuntabel, disertai dukungan sistem informatika
yang sudah terarah pada pengembangan e-government. Peran birokrasi lebih difokuskan
sebagai agen pembaharuan, sebagai motivator dan fasilitator bagi tumbuh dan berkembangnya swakarsa dan swadaya serta meningkatnya kompetensi
masyarakat dan dunia usaha. Dengan demikian, dunia usaha dan masyarakat dapat
menjadi bagian dari masyarakat yang terus belajar mengacu kepada terwujudnya Masyarakat
Madani yang berdaya saing tinggi.
Peningkatan Kompetensi SDM Aparatur. Mengantisipasi
tantangan global, pembinaan sumber daya manusia aparatur negara perlu mengacu
pada standar kompetensi internasional. Sosok aparatur masa depan penampilannya
harus profesional sekaligus taat hukum, rasional, inovatif, memiliki integritas
yang tinggi serta menjunjung tinggi etika administrasi publik dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Peningkatan profesionalisme aparatur harus
ditunjang dengan integritas yang tinggi, dengan mengupayakan terlembagakannya
karakteristik sebagai berikut: (a) mempunyai komitmen yang tinggi terhadap
perjuangan mencapai cita-cita dan tujuan bernegara, (b) memiliki kompetensi yang dipersyaratkan
dalam mengemban tugas pengelolaan pelayanan dan kebijakan publik, (c) berkemamapuan
melaksanakan tugas dengan terampil, kreatif, dan inovatif, (d)
disiplin dalam bekerja berdasarkan sifat dan etika profesional, (e)
memiliki daya tanggap dan sikap bertanggung gugat (akuntabilitas), (f) memiliki
derajat otonomi yang penuh rasa tanggung jawab dalam membuat dan melaksanakan
berbagai keputusan sesuai kewenangan, dan (g) memaksimalkan efisiensi,
kualitas, dan produktivitas.
Sementara itu, untuk
mengaktualisasikan potensi masyarakat, dan untuk mengatasi
berbagai permasalahan dan kendala
yang dihadapi bangsa, perlu dijamin
perkembangnya kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat bangsa yang terarah pada
pemberdayaan, peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta ketahanan dan daya
saing perekonomian bangsa. Dalam rangka itu, reformasi sistem birokrasi dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan baik di pusat maupun di daerah-daerah,
juga perlu diperhatikan antara lain prinsip-prinsip pelayanan, pemberdayaan,
`partisipasi, kemitraan, desentralisasi, transparansi, konsistensi kebijakan,
kepastian hukum, dan akuntabilitas.
Dalam rangka
peningkatan kehidupan demokrasi, pemberdayaan, perluasan partisipasi,
peningkatan pembangunan daerah dan pemberian pelayanan guna meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di daerah, sekaligus juga
terpeliharanya kesatuan dan persatuan bangsa, negara, dan tanah air, diperlukan
pengembangan sistem dan kebijakan penyelenggaraan otonomi daerah yang mantap,
berfokus pada desentralisasi kewenangan tertentu dalam pengelolaan kebijakan
dan penyelenggaraan tugas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, berdasarkan
pedoman berisikan norma, standar, dan prosedur nasional. Pedoman nasional dalam pengelolaan kebijakan
yang berorietasi pada meningkatnya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat
daerah tersebut harus dapat memperlancar aparatur daerah dalam melakukan
pengelolaan kebijakan dan pelayanan prima kepada masyarakat di daerah.
Pemberdayaan masyarakat menyentuh nilai-nilai
kemanusian dan pengakuan terhadap hak dan kewajiban masyarakat dalam negara
hukum yang demokratis. Hidupnya demokrasi dalam suatu negara bangsa,
dicerminkan oleh adanya pengakuan dan penghormatan negara atas hak dan
kewajiban warga negara, termasuk kebebasan untuk menentukan pilihan dan
mengekspresikan diri secara rasional sebagai wujud rasa tanggung jawabnya dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, serta terbukanya peluang untuk
berpartisipasi aktif dalam kegiatan pembangunan. Dalam upaya memberdayakan
masyarakat dalam memikul tanggung jawab
pembangunan, reformasi birokrasi
pemerintah perlu diarahkan antara lain pada (a) pengurangan hambatan dan
kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan
akses pelayanan untuk menunjang berbagai kegiatan sosial ekonomi masyarakat,
dan (c) pengembangan program untuk lebih meningkatkan keamampuan dan memberikan
kesempatan kepada masyarakat berperan aktif dalam memanfaatkan dan mendayagunakan
sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tambah tinggi guna
meningkatkan kesejahteraan mereka.
Upaya pemberdayaan masyarakat memerlukan semangat
untuk melayani masyarakat, dan menjadi mitra masyarakat ; atau melakukan kerja
sama dengan masyarakat. Dalam pada itu pelayanan mempunyai makna pengabdian
atau pengelolaan pemberian bantuan yang
mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang
dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan
dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah,
bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit",
"terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang".
Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara,
yang esensinya "melayani publik", harus benar-benar dihayati para
penyelenggara pemerintahan negara.
Desentralisasi merupakan wujud nyata
pelaksanaan otonomi daerah. Perbedaan
perkembangan antar daerah mempunyai implikasi yang berbeda pada
macam dan intensitas peranan pemerintah, namun pada umumnya masyarakat dan
dunia usaha memerlukan (a) desentralisasi dalam pemberian perizinan, dan
efisiensi pelayanan birokrasi bagi kegiatan-kegiatan dunia
usaha di bidang sosial ekonomi, (b) penyesuaian kebijakan
pajak dan perkreditan yang lebih nyata bagi pembangunan di kawasan-kawasan
tertinggal, dan sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah yang sesuai dengan
kontribusi dan potensi pembangunan daerah, serta (c) ketersediaan dan kemudahan
mendapatkan informasi mengenai potensi dan peluang bisnis di daerah dan di
wilayah lainnya kepada daerah di dalam upaya peningkatan pembangunan daerah.
Tegaknya hukum yang berkeadilan merupakan
jasa pemerintahan yang terasa teramat sulit diwujudkan, namun mutlak diperlukan
dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, justru di tengah
kemajemukan, berbagai ketidak pastian perkembangan lingkungan, dan menajamnya
persaingan. Peningkatan dan efisiensi nasional membutuhkan penyesuaian
kebijakan dan perangkat perundang-undangan, namun tidak berarti harus
mengabaikan kepastian hukum. Adanya kepastian hukum merupakan indikator
professionalisme dan syarat bagi kredibilitas pemerintahan, sebab bersifat
vital dalam penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan, serta dalam pengembangan hubungan internasional. Tegaknya
kepastian hukum juga mensyaratkan kecermatan dalam penyusunan berbagai
kebijaksanaan pembangu-nan. Sebab berbagai
kebijak-sanaan publik tersebut pada akhirnya harus ditungkan dalam sistem
perundang-undangan untuk memiliki
kekuatan hukum, dan harus mengandung
kepastian hukum.
Dalam era globalisasi, dalam ekonomi yang
makin terbuka, meskipun untuk meningkatkan efisiensi perekonomian
harus makin diarahkan kepada ekonomi pasar, namun intervensi pemerintah harus
menjamin bahwa persaingan berjalan dengan berimbang, dan pemerataan terpelihara.
Yang terutama harus dicegah terjadinya proses kesenjangan yang makin melebar,
karena kesempatan yang muncul dari ekonomi yang terbuka hanya dapat
dimanfaatkan oleh wilayah, sektor, atau golongan ekonomi yang lebih maju.
Peranan pemerintah makin dituntut untuk lebih dicurahkan pada upaya pemerataan
dan pemberdayaan. Penyelenggara pemerintahan negara harus mempunyai komitmen
yang kuat kepada kepentingan rakyat, kepada cita-cita keadilan sosial.
Untuk itu, keserasian dan keterpaduan antar
berbagai kebijaksanaan pemba-ngunan harus diupayakan baik pada tingkat
nasional maupun daerah. Pengentasan kemiskinan, kesenjangan, peningkatan
kualitas sumber daya manusia pembangunan, dan pemeliharaan prasarana
dasar, serta peningkatan kuantitas, kualitas, dan diversifikasi produksi yang
berorientasi ekspor ataupun yang dapat mengurangi impor harus pula dijadikan
prioritas dalam agenda kebijakan pembangunan nasional dan daerah. Upaya
mendasar di bidang industri dan perdagangan perlu mendapatkan perhatian khusus,
dan diarahkan untuk memperkuat basis ekonomi dan daya saing, agar memberikan
dampak positif dalam persaingan global yang juga berlangsung di tengah
kehidupan masyarakat kita di seluruh wilayah tanah air.
Pemerintah melalui berbagai perangkat
kebijakan makro ekonomi yang tepat, dan berbagai kebijakan lainnya di sektor
riil, disertai pembenahan kelembagaan yang mantap akan dapat mendorong
peningkatan efisiensi, produktivitas, pemerataan alokasi dan pemanfaatan sumber
daya ekonomi. Selain itu, melalui kebijakan anggaran, aparatur pemerintah harus
dapat mengarahkan dan memperlancar aliran sumber daya untuk mendorong
pemberdayaan, pemerataan dan pertumbuhan, penguasaan iptek, dan pengembangan
sistem manajemen modern seiring dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia
dan kesejahteraan masyarakat.
Dalam pada itu, masyarakat dan dunia usaha
termasuk perbankan perlu didorong dalam pengembangan sumber dan sistem
pembiayaan alternatif yang aksesif dan kondusif bagi perkembangan perekonomian
rakyat, serta pengembangan kemitraan stratejik dengan dunia usaha nasional dan
inetrnasional. Skim ini menjadi sangat
penting untuk digalakkan, sebab agaknya
bangsa ini tidak akan dapat mengatasi permasalahan dan
tantangan-tantangan yang dihadapi dewasa ini dan di masa datang dengan
paradigma pembangunan lama yang berorientasi
pada ketergantungan.
Selanjutnya berbagai upaya perlu dilakukan
secara mantap untuk memperkuat daya saing ekonomi nasional, mendorong
demokratisasi kehidupan perekonomian, memantapkan stabilitas nasional yang
dinamis, memperkokoh posisi neraca pembayaran, meningkatkan ketahanan nasional
dan daya saing perekonomian bangsa dalam arena persaingan dunia.
Yang tak boleh diabaikan dalam
hubungan semuanya itu adalah konsensus
dan komitmen bahwa semua itu adalah merupakan bagian dan kelanjutan dari
keseluruhan tahapan perjuangan merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan
bangsa dan negara, yang telah berlangsung puluhan dekade lamanya, dan
sepenuhnya memanifestasikan dimensi-dimensi spiritual negara sebagaimana
diamanatkan para founding fathers negara bangsa
ini dalam Pembukaan UUD 1945.
Prinsip
yang perlu diperhatikan, antara lain mencakup: (a) peningkatan kompetensi
sumber daya manusianya secara optimal, dengan antara lain mendayagunakan
jabatan fungsional sehingga akan mengurangi tingkatan hirarkhi, bentuk
organisasi berubah kearah matriks dan flat; (b) Tugas-tugas Departeman/LPND
sebagai berikut: (1) lnstansi pusat difokuskan pada (i) penentuan kebijakan
(policy), (ii) perencanaan berskala nasional/regional, (iii) pembinaan dan
pengarahan melalui pengembangan norma, prinsif, standar, sesuai sektornya, (iv)
desentralisasi perijinan, (v) Restrukturisasi tugas kedinasan; dan (vi)
Pembinaan Kemampuan Profesional Aparatur Daerah; (2) Tugas-tugas operasional
pada skala regional dan lokal dapat didekonstrasikan pada aparatur provinsi,
namun umumnya didesentralisasikan pada
aparatur Kabupaten/Kota; (3) Sejauh mungkin memanfaatkan potensi masyarakat
melalui pola kemitraan, privatisasi, ataupun sistem kontrak; dan (c)
Tugas-tugas Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kotamadya: (1) Tugas Pemda
Provinsi dan Kabupaten/Kota yang berkaitan dengan instansi pusat, mengacu pada
pembinaan teknis dari instansi sektoral yang berwenang, (2) Kebijaksanaan
teknis mengacu pada pedoman yang ditetapkan instansi pusat yang berwenang dan
memiliki kompetensi, dan (3) Mengembangkan sistem dan prosedur pelayanan prima.
Desentralisasi
merupakan inti otonomi daerah yang pada dasarnya dimaksudkan untuk mendekatkan
pelayanan kepada masyarakat dan meningkatkan prakarsa masyarakat dalam
pembangunan daerah. Sehubungan dengan itu, peletakan Otonomi Daerah pada
Kabupaten/Kotamadya merupakan pilihan yang tepat. Otonomi Daerah harus lebih
memungkinkan semakin tumbuhnya pemerintahan dan masyarakat daerah dalam
mendorong bertumbuh kembangnya potensi sosial dan ekonomi daerah. Sebab itu desentralisasi
5.
Kesimpulan
Dengan demikian, Masyarakat
Madani merupakan konsep yang mengandung visi, misi, dan strategi tertentu dalam
rangka penyelenggaraan negara guna mewujudkan nilai-nilai luhur yang terkandung
di dalamnya, dan memerlukan komitmen yang kuat dari keseluruhan unsur
kelembagaan yang ada dalam kehidupan bangsa bernegara, baik pemerintah maupun
masyarakat. Perubahan dan peningkatan kualitas kelembagaan pada birokrasi
pemerintah tersebut di atas perlu diikuti pula dengan semangat dan kualitas
perubahan serupa pada lembaga-lembaga lainnya dalam masyarakat, sehingga sistem
dan dinamika kelembagaan secara keseluruhan terarah pada perwujudan Masyarakat Madani.
Perjuangan mewujudkan Masyarakat
Madani memerlukan dukungan sistem kelembagaan yang sesuai, baik dalam bidang
politik, ekonomi, maupun pemerintahan. Sistem kelembagaan tersebut harus dapat
menjamin terpeliharanya komitmen dan konsistensi antar perilaku (sikap,
kebijakan, kegiatan, tindakan) setiap warga bangsa dan aparatur negara atau pun
pemerintah dan masyarakat dengan nilai-nilai Masyarakat Madani sehingga
perjuangan mewujudkan Masyarakat Madani dapat berlangsung secara harmonis,
berkelanjutan, dan mencapai kinerja yang optimal dalam setiap dan seluruh
tahapannya.
Sementara itu, untuk
mengaktualisasikan potensi masyarakat, dan untuk mengatasi berbagai permasalahan dan kendala yang dihadapi
bangsa, perlu dijamin perkembangnya
kreativitas dan oto-aktivitas masyarakat bangsa yang terarah pada pemberdayaan,
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta ketahanan dan daya saing
perekonomian bangsa. Dalam rangka itu, sistem penyelenggaraan negara baik di
pusat maupun di daerah-daerah, perlu memperhatikan antara lain prinsip-prinsip
berikut.
Pertama, pemberdayaan. Dalam
pada itu, aparatur pemerintah dalam mengemban tugas pembangunan, tidak
harus berupaya melakukan sendiri. Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh
masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian
dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus dimampukan atau
diberdayakan.
Kedua, pelayanan. Hal tersebut memerlukan
perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui
pembudayaan kode etik yang didasarkan pada dukungan lingkungan yang
diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan
dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di
daerah-daerah.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Dalam
pelaksanaan tugas dan fungsinya, di samping mematuhi kode etik, aparatur dan
sistem manajemen publik harus mengembangkan keterbukaaan dan sistem
akuntabilitas, serta bersikap terbuka untuk mendorong para pimpinan dan seluruh
sumber daya manusia di dalamnya berperan dalam mengamalkan dan melembagakan
kode etik dimaksud, serta dapat menjadikan diri mereka sebagai panutan
masyarakat sebagai bagian dari pelaksanaan pertanggungjawaban kepada masyarakat
dan negara.
Keempat, partisipasi. Masyarakat
diikutsertakan dalam proses menghasil-kan public good and services dengan
mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan, dan bukan semata-mata dilayani.
Untuk itulah kemampuan masyarakat
harus diperkuat, kepercayaan masyarakat harus meningkat, dan kesempatan
masyarakat untuk berpartisipasi ditingkatkan.
Konsep pemberdayaan juga selalu dikaitkan
dengan pendekatan partisipasi dan kemitraan dalam manajemen
pembangunan, dan memberikan penekanan pada desentralisasi dalam proses
pengambilan keputusan agar diperoleh hasil
yang diharapkan dengan cara
yang paling efektif dan efisien dalam pelaksanaan
pembangunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat pentingnya peranan keswadayaan
masyarakat, dan menekankan bahwa fokus pembangunan yang hakiki adalah
peningkatan kapasitas perorangan dan kelembagaan. Jangan diabaikan pula
penyebaran informasi mengenai berbagai potensi dan peluang pembangunan
nasional, regional, dan global yang terbuka bagi daerah; serta privatisasi
dalam pengelolaan usaha-usaha negara.
Kelima, kemitraan. Dalam membangun
masyarakat yang modern di mana masyarakat dan dunia usaha menjadi pelaku
utamanya, terwujudnya kemitraan, dan modernisasi dunia usaha terutama usaha
kecil dan menengah yang terarah pada peningkatan mutu dan efisiensi serta
produktivitas usaha amat penting, khususnya dalam pengembangan dan penguasaan
teknologi dan manajemen produksi, pemasaran, dan akses informasi.
Dalam upaya mengembangkan kemitraan dunia
usaha yang saling meng-untungkan antara usaha besar, menengah, dan kecil,
peranan pemerintah ditujukan ke arah pertumbuhan yang serasi. Pemerintah
berperan dalam menciptakan iklim usaha dan kondisi lingkungan bisnis, melalui
berbagai kebijakan dan perangkat perundang-undangan yang mendorong terjadinya
kemitraan antarskala usaha besar, menengah, dan kecil dalam produksi dan
pemasaran barang dan jasa, dan dalam berbagai kegiatan ekonomi dan pembangunan
lainnya, serta pengintegrasian usaha kecil ke dalam sektor modern dalam ekonomi
nasional, serta mendorong proses pertumbuhannya.
Keenam, desentralisasi. Dalam Undang-undang
tentang Pemerintahan Daerah, otonomi dilaksanakan dengan pelimpahan kewenangan
yang luas kepada daerah Kabupaten/Kota Madya, dan Daerah Provinsi berperan
lebih banyak dalam pelaksanaan tugas dekonsentrasi, termasuk urusan lintas
Kabupaten/Kodya yang memerlukan penyelesaian secara terkoordinasi. Penguatan
kelembagaan sangat diperlukan dalam mewujudkan format otonomi daerah yang baru
tersebut, termasuk kemampuan dalam proses pengambilan keputusan. Ini adalah
langkah yang tepat, sebab perubahan-perubahan yang cepat di segala bidang
pembangunan menuntut pengambilan keputusan yang tidak
terpusat, tetapi tersebar sesuai dengan fungsi, dan tangung jawab
yang ada di daerah.
Karena pembangunan pada hakekatnya
dilaksanakan di daerah-daerah, berbagai kewenangan yang selama ini ditangani
oleh pemerintah pusat, diserahkan kepada pemerintah daerah. Langkah-langkah
serupa perlu diikuti pula oleh organisasi-organisasi dunia usaha, khususnya
perusahaan-perusahaan besar yang berkantor pusat di Jakarta, sehingga
pengambilan keputusan bisnis bisa pula secara cepat dilakukan di daerah. Dengan
kata lain desentralisasi perlu juga dilakukan oleh organisasi-organisasi
bisnis.
Ketujuh, konsistensi kebijaksanaan, dan
kepastian hukum. Perubahan paradigmatik yang berorientasi pada perwujudan Masyarakat
Madani dan Good Governance tersebut perlu dilakukan sebagai koreksi terhadap
kekeliruan masa lalu, yang secara umum berpangkal pada kurangnya konsistensi
dalam memelihara dan menegakkan prinsip dan semangat yang telah disepakati
bersama dalam ”negara hukum yang demokratis”, sehingga melahirkan
ketidak-seimbangan antara posisi dan peran pemerintah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan.
No comments:
Post a Comment